Sabtu, 29 November 2008

(casciscus-1) : tahu-tahu tak tahu....







Keledai tahu…

Dia senang masuk lubang…

Keledai tahu..

Tanah datar tak buat dia senang..

Keledai tahu…

Masuk lubang jutaan kali pun dia senang….

Keledai juga tahu…

Dia perlu istirahat…

Keledai tahu betul..

Dia harus dia harus tidur sejenak..

Entah kenapa , tanah datar tidak bias menahan beratnya

Dan menariknya ke lubang..

Badannya bilang, “berhenti!”

Kakinya bilang, “berhenti!”

Bahkan otaknya pun bilang “BERHENTI, BANGSAT!”


Tapi badannya yang lambat

tak bisa lari dari apapun yang menariknya kedalam lubang itu

dia tahu menyenangkan berada di dalam lubang dan mencari jalan keluar

itu tantangannya..

dia hanya bingung..

kenapa dia tertarik pada lubang-lubang itu?

Keledai tahu…

Tapi ia tak tahu….

Mungkin ini hanya sekedar kutukan…

Seperti kutukan davy jones…

Minggu, 23 November 2008

anger management (1) : if i ever....

if i ever catch you redhanded,
i'll put a tiny little hole around your neck,
hang you upside down,

you'll surely regret it...
and, wish you were born as bird..
so i can't catch you and put that tiny little hole..

and after seventy-something years..
i'll come back...
to watch the last drop of your blood...
and watch you bleed to dry and die..


"goosssssfrabaaaaaaa................"

Intermezzo (4) : HAppines is warm GUN

“When life is jolly rotten, there’s something you forgotten and that’s to laugh, and smile, and dance, and sing. Always look on the bright side of life, always look on the light side of life….” –Art Garfunkel-

Tulisan ini di dedikasikan untuk Nike Astria (bukan si penyanyi) Malik, teman saya yang bertanya apa arti kebahagiaan untuk saya...

Begini…untuk saya sendiri itu dan sama seperti orang-orang lain di dunia ini kebahagiaan itu relatif. Saya tidak percaya ada kebahagiaan mutlak. Kita manusia dan diciptakan utuk selalu tidak pernah puas akan keadaan. Jadi kebahagiaan mutlak itu tidak ada menurut kepercayaan pemuja kegilaan hidup yang saya anut. Hahahaha….

Pada prinsip nya kebahagiaan itu bisa muncul jika kita ingin kebahagiaan itu muncul. Dalam kondisi apapun, seklai lagi DALAM KONDISI APAPUN. Tidak peduli pemakaman, tidak peduli kebangkrutan, tidak peduli putus cinta. Pernah dengar kan pastinya kata-kata yang (iye2 ga tau gw kata2 siapa…) yang bilang kalo “your eyes only see what your brain want you to see”. Tidak perlu ahli bahasa inggris pun kita tahu bahwa kalimat itu jangan diartikan mentah-mentah. Tentu saja kita tidak bisa berharap sebuah keledai berubah menjadi sebuah singa atau gajah hanya dengan berpikir demikian. Tapi setidaknya kita bisa memperlakukan keledai seperti singa jika ita berpikir dia adalah singa, bukan?
Jadi saya sepakat jika definisi kebahagiaan itu sekedar ada jika kita mau perasaan itu ada. Saya ingin menceritakan contoh kasus saya sendiri, dalam hal ini perjalanan. Mungkin bagi sebagian besar orang perjalanan yang kemarin saya lakukan tidaklah sedemikian menyenangkannya. Segala ketidakpastian, tidak bisa nya kita untuk menjangkau hal-hal yang biasa berada di sekitar kita seperti koran maupun televisi. Pergi ke suatu tempat tanpa tahu kita akan tidur dimana nantinya. Mungkin tidaklah semenyenagkan itu.

Tapi toh saya menikmati nya, kenapa? Dan sejujurnya dalam kondisi tertentu saya tidak mau melakukan apa yang saya lakukan disana. Misalnya, di Jakarta saat ini. Mengapa demikian? Mungkin karena pada saat perjalanan itu dirancang kita sudah mengetahui segala kemungkinan atas ketidakpastian yang mungkin kita hadapi, mungkin kami sudah tahu bahwa kami memiliki kemungkinan untuk tidur beratapkan langit suatu saat, dan itu memang terjadi! Intinya adalah predikisi yang kita lakukan itu tentunya tidak secara spesifik, namun lebih kepada hal-hal yang umum saja. Jika kita memilih salah satu jalan, entah itu pernikahan, pekerjaan, atau apapun juga kita pasti tahu bahwa akan ada resiko dari setiap pilihan tersebut.mengerti? tidak? Wajar…:D

Contoh, jika kita memilih suatu pilihan pekerjaan, kita pastinya juga memiliki penilaian-penilaian terendiri, mengapa pekerjaan itu kita pilih, bukan? Mudahnya, uang (contoh lho) kita tahu bial kita menginginkian uang, kita harus bekerja, dan sering kali bagi kebanyakan orang, mereka tidak bisa memilih –walau tak jarang yang TIDAK MAU- memilih pekerjaan idaman mereka. Toh, walaupun mereka telah mendapatkan pekerjaan idaman, seringkali kita tidak pernah melihat sisi positif dari kehidupan kita sendiri. Yang kita rasakan hanya beban kerja, jam kerja, gaji kurang, bos galak, and stuff….

Perasaan negatif seperti itu lah yang menurut saya menghalangi kita untuk menikamati hidup kita. Bagaimana kita bisa menikmati hidup saya jika kita hanya mau membuka hati dan otak kita unutk hal-hal yang bersifat negatif? Jika kita bisa mengesampingkan itu – yang tentunya tidak mudah- dengan berpikir positif, maka rasa BAHAGIA itu akandatang dengan sendirinya.

Selasa, Tanggal 14 oktober 2009, saya berjalan-jalan di sekitar Sudirman dan Thamrin unutk mengabadikan bulan purnama pada malam itu ditemani dengan seorang teman saya. Ketika kami sampai di monas, saya sempat bingung mengapa pada hari kerja biasa dimana keesokan harinya orang-orang pada umumnya pergi bekerja atau kuliah, atau sekolah, ada saja orang yang meluangkan waktunya untuk pacaran di sana, ada juga yang berjalan-jalan dengan keluarganya (termasuk nenek, kakek, dan bayi nya, dan bukan hanya satu keluarga) untuk menikmati kota Jakarta (yang kata orang tidak menyenangkan , kotor, dan sebagainya). Ter-celetuk-lah dari mulut saya kepada didit, teman saya itu, “banyak ya orang kaya di Indonesia, weekdays gini sempet jalan-jalan ama pacaran di onas, bawa keluarga pula!”. Didit pun menjawab, “kaya secara moral, bukan finansial, wo. Mereka mungkin sudah merasa cukup terpenuhi dan ngga’ ngoyo untuk ngejar-ngejar uang.” “ mereka merasa sudah cukup bekerja hari ini, dan mereka pengen menikmati hidup”, lanjut Didit. ITULAH!

Saya langsung sepakat. Mungkin juka kita hanya melihat sisi buruk dari kota Jakarta yang terdiri dari kriminalitas, sampah, kemacetan , dan buruk nya pemerintah. Kita akan kehilangan untuk menikmati kota Jakarta bahkan menikmatyi hidup kita sendiri. Harusnya sudah mengerti ya sampai disini?
Jadi intinya kebahagiaan itu bisa kita temukan dimana, saja, kapan saja, ketika hati dan otak kita sepakat untuk berpikir bahwa kita bahagia. Bila kita merasa bahagia saat bisa minum kopi dan membaca koran setiap pagi, JANGAN KATAKAN ITU BUKAN KEBAHAGIAAN. Ketika kita bahagia dengan jika kita senang bila pacar kita romantis, JANGAN PULA KATAKAN BAHWA ITU BUKAN BAHAGIA. Bahagia itu bisa muncul dari segala arah, segala macam cara. Baik dari sesuatu kegiatan yang tidak rutin – misalnya pesta kejutan-, atau bisa juga karena kegiatan rutin yang biasa kita lakukan semacam minum buang air besar di pagi hari (beberapa orang akan mengalami ke-BT-an berlebih ketika tidak sempat buang air besar di pagi hari. Haha!). bahkan dari hal yang paling CETEK sekalipun. Seperti menemukan uang seribu rupiah di pinggir jalan.

Karena saya berpendapat bahagia itu tidak bisa dikukur seperti ketika Einsten menulis E=MC2 . karena mungkin suatu saat kita tidak menikmati kopi yang kita minum di pagi hari, atau mungkin suatu saat kita justru bahagia ketika kita putus dari pacar kita. Yang jelas kebahagiaan dapat muncul dimana saja, kapan saja.karena itu untuk hal ini saya menyebutnya “simple kind of happiness”. (bukan juga istilah yang saya buat juga, entah siapa penciptanya).
Dan sekali lagi, kadang-kadang untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu berusaha yang berarti kebahagiaan itu tidak gratis, mau ngopi, kita harus beli kopi pakai uang. Misalnya. Jika kita merasa bahagia bila kita merasa ada, berarti kita harus berusaha agar kita ada. Dan kita memang kebahagiaan seperti itu yang kita inginkan, maka,jangan sekali-kali pernah mengeluhkan bagaimana sulitnya menaiki tangga kebahagiaan itu. Bahkan, Begitu pula bila kita bahagia dalam diam. Mungkin kita juga harus siap membayar di-cap “autis”. :D

Ada banyak simple kind of happiness di dalam hidup saya sendiri yang tak mungkin di tuliskan satu-persatu disini. Tapi yang jelas cukup mudah bagi saya. Saya bisa merasa bahagia ketika saya tersenyum, dan ketika orang lain tersenyum, terutama bila mereka tersenyum bukan karena perbuatan yang sedang saya lakukan, tapi bila mereka tersenyum karena melihat saya tersenyum menikmati hidup. All we’re sayin’ is give peace a chance, rite?

“There’s nothing you can do that can be done,
There’s nothing you can sing that can’t be sung,
There’s nothing you can make that can’t be made,
There’s nothing you can save that can’t be saved.
It’s easy…. ALL YOU NEED IS LOVE”

Senin, 20 Oktober 2008

the fool that lives poor just to die rich...







tulisan ini dibuat karena hutang saya kepada nini, yang tidak kunjung saya buat..
akhinya ini lah hasilnya...
selamat menikmati.. ini tentang saya...semoga tidak mengecewakan..

1. Gw Madokur (baca : Madura)

Ini fakta yang ga banyak orang yang tahu… YAP! Gw pun baru tahu saat gw SMA. Hahaha… bukan masalah besar sebenernya gw orang mana. Tapi ini salah satu yang sempet bikin gw parno pas mau ke Kalimantan. Oke sejujurnya gw bener-bener takut. Tapi karena keapatisan gw dan gw selalu berpikir (mati ya sudah….. )(baca cerita tentang terdampar di sataonda).

Darah jawa timur yang dikombinasikan dengan darah Madura ini lah yang mungkin bikin mulut gw kata orang kadang2 ketus dan tanpa saringan. Mungkin dari situ juga darah nyolot dan pemberontakasalnyeplos tumbuh berkembang dan diturunkan ke hampir semua anak-anak dan cucu dari keluarga Wahyudi…

And YES, I SWEAR A LOT…



2. Pelupa Gila

Gw bisa naro suatu benda yang udah gw inget2 harus gw bawa karena super penting. Tapi gw lupa dimana gw naro barang itu sesaat setelah gw balik badan. “Kacamata diatas dahi dan gw cari?” sampai saat ini baru 2 kali seumur hidup gw.

Jadi buat semua yang kenal gw, jangan kaget kalo kita ketemu di jalan dan pas nyapa gw Cuma bilang “hai, pakabar? “ sambil senyum aneh (itu aritnya gw lagi mencoba mengingat. Dan pertannyaan “anak2 pa kabar?” itu biar gw tau gw kenal lo dimana..

Sumpah gw gak sombong..



3. K.I.K.I.R

Paman gober AKA Scrooge McDuck selalu jadi panutan gw. I’m not gonna spend even a single pennie for something yang sangat tidak penting seperti Handphone baru, sepatu baru, baju baru. KECUALI RUSAK!




4. Gak suka Nunggu

Gw bisa maki2 orang yang telat janjian sama gw tanpa notification. Maki2 Ngent**, Anji**, dan yang mungkin lebih kasar lagi sering terjadi. Dan karena kepelitan gw itu lah gw lebih suka menyusuri speanjang jalang fatmawati dari pada menunggu bis yang tak kunjung datang.



5. Selalu punya Konsep Berpikir (1) Hidup itu perjudian dan (2) Keledai itu mungkin tidak bodoh

Hidup itu selalu berjudi, kita memilih dengan segala perhitungan yang kita punya tapi kita tidak tahu apakah apa yang kita pilih itu benar atau tidak… benar? Dan keledai yang tidak bodoh itu memacu gw untuk berpikir out of the box dan memlihat banyak posibilitas lain dan untk tidak sekedar percaya dengan apa yang gw lihat dan dengar. Ya, kadang-kadang berpikir diluar kotak hanya memasukan kita ke lingkaran atau segitiga lainnya.

-Life is What Happen to you while u’re busy makin’ other plan-. rite? –John Lennon


6. Senang bercerita, tapi susah menulis.

Susah banget buat gw nulis… enakan ngomong.. that’s why gw berpikir gw butuh sekretaris untuk nyatet semua omongan gw… berminat? Digaji dengan cinta….. (sekali lagi K.I.K.I.R)


7. Dari kecil punya impian bikin kapal laut sendiri trus berlayar entahkemana. Sekarang menggeser mimpi itu menjadi beli kapal sendiri.

Pas SD gw ma temen gw bikin angan2 untuk punya Kapal bajak laut dan mengarungi ganasnya samudra-samudra diluar sana, bertarung dengan hiu, merompak kapal pemerintah yang korup.dll….
Mimpi itu kembali saat gw kembali berangan2 dengan teman lain yang ingin punya kapal juga..

Karena nenek moyang kita orang pelaut bukan?

i want to try to time travelling.....



8. Adrenaline Junkie

Gw lebih suka susah dari pada nyaman. Tau deh…padahal nyaman itu enak lho… save feet on the ground or levitate my feet above me head…., sie? I choose to fly….. you can see a lot of things up there…. If you fall? Shit Happens! Blame Yourself!

9. Suka terlalu tanpa berperasaan, Jadi Susah Marah

Gw pernah di bawa ke psikolog pas SMA sama nyokap gw karena gw terlalu apatis sebagai manusia. Diapa2in diem, ga tau ato mungkin ga jelas mau jadi apa. Alhasil sang psikolog pun bilang kalo gw terlalu apatis sama keadaan sekitar.

Sekarang? Sedikit lebih baik… tapi setidaknya penyakit ga bisa marah karena terlalu mungkin pake logika kali ya…kalo ada yang menurut orang jahat dengan entengnya gw bilang “udahlah, mungkin begini…” “yaelah… ga sengaja kali dia….”

Kecuali untuk masalah telat2an… siap denger mulut ketus gw aja deh..

ENtah kenapa akhir-akhir ini gw agak berubah, kayanya demen aja marah-marah. Am I cured?

10. Dreamin of livin in the sixties……

I believe in father John,


The Twin Sons; Jimi and Jimmy,


And Jim , the Holy Ghost




Not to mention the holy Mom, Janis,


The Prophet Zimmerman, Paul, Ringgo, and George



Their God father Daltrey and Waters












Saya selalu berharap lahir tahun 40 an jadi bisa merasakan hingar bingarnya era60an…



AN ERA where poet blabbering all the time without a home, from a complete unknown to a complete someone

AN ERA where guerillas were fighting with Guitar and Pen, and Bass, and Drums

AN ERA where the angels fly with their little wings in the summer is of love

AN ERA where babies were born from a “Flower”

And YES,

AND ERA where every people ridin’ a Yellow Sumbarine with Lucy, Bobby McGee and Sergeant Pepper in the Sky with Diamonds heading etiher to their strawberry fields or Octopus’s Garden. And of course, the others were laughin’, Spinnin’, Swingin’ Across the sun and but for the sky there’re no fences facin’.



AND ERA where I wish I was there.



And im still waitin’ my 27th birthday… we’ll see what happen….:P





Escapin' through the lily fields
I came across an empty space
It trembled and exploded
Left a bus stop in its place
The bus came by and I got on
That's when it all began
There was cowboy Neal
At the wheel
Of a bus to never-ever land

-Grateful Dead -"That's It for the Other One"



VIVA LA VIE BOHEME!



11. Keras Kepalanya….


tag selanjutnya : mimit, didit, sugi, swasti, mapokal2 lainnya, sisie, barudak GFJA, dan siapa pun yang pengen..

i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

"Naga Timur "Thanks toooooooooo....

akhirnya! perjalanan berakhir jua!
tanpa bantuan kalian semua, cerita ini tidak akan pernah selesai...

saya selaku penulis dan seluruh anggota TIM ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Mapala UI
2. Mapala "Londa" STKIP Bima
3. SYMPEL muhammadiyah BIMA
4. Tomi Stanley and Sophie (kalian mewarnai hidup ku selama perjalanan)
5. Copet Pasuruan-Probolinggo
6. Polres sepanjang Jakarta-Flores
7. Fuso!
8. kota Bima, Labuhan Bajo, Jember
9. Om Beck dan Keluarga
10. penghuni Desa PAncasila
11. Penghuni Gunung Tambora
12. Jalanan perusak Kamera
13.Nurlela dan keluarga, Labuhan Kanagan
14. pemilik ketingting dan TIM SAR Sataonda
15.bus AKAP sekitar
16. ASDP dan semua ferry penyebrangannya
17. Bapak Haji Hajar dan Keluarga
18. Penduduk Desa Komodo
19. MAs Herman dan seluruh Staf Taman NAsional Komodo
20. Komo dan kak seto
21. PT.KAI dan kereta "gaya baru malam selatan"
24. PELNI, KM. Tilongkabila dan kru.
23. SWAPENKA Universitas Negeri Jember.
24. Terang Bulan dan Terang Bulan "londo"
25. canon 10 d, nikon p50, Windbreak Deuter, Lowe Alpine, Eiger, Trangia, Petzl, Head, tupperware, Lafuma, Nokia, Windows, blogspot, Multiply, dan arits pendukung ibukota lainnya
26.bapake,ibu'e, kaka'e, ade'e di rumah dan anjing'e..
27. teman-teman yang tau perjalanan ini
28. yang baca tulisan ini
29. yang nyerocos di bawah tulisan2 gw...

9999999. yang lupa kesebut... isi aja ndiri.... udah gw kosongin tuh ampe 9999999.... HAJAR SUDAH MIRING2......sip ohe!

i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Minggu, 19 Oktober 2008

Intermezzo (3) : Zona “warna”






Beberapa gitaris mengagung-agungkan jemari Jimmy Page dengan gitar Gibson Les Paul-nya

Yang lain menjadikan atraksi dan distorsi Jimi Hendrix bersama Fender Stratocaster-nya sebagai Tuhan dan kitab sucinya…..


Ada juga yang mengagungkan warna natural yang di hasilkan kamera-kamera Canon

Tapi ada yang menolak mentah-mentah dan mengatakan bahwa tone merah Nikon di atas segalanya…



Ada yang mau menggantungkan nyawanya di atas sebuah Petzl,

Namun, ada yang tak mau berayun tanpa Camp.



Mereka menganggap baik Les Paul maupun Stratocaster,

Mereka menganggap baik canon ataupun Nikon,

Atau Petzl dan Camp,

Adalah “warna” mereka….

Bukan, bukan “kotak” mereka,

karena ada saja segitiga di luar sana ,

atau ada saja lingkaran biru atau merah yang saling mengiris satu sama lainnya.

Tapi tunggu!

Kadang mereka dengan mudah nya mengatakan Canon itu lebih baik dari Nikon!

Kadang mereka bilang Stratocaster tidak dapat meraung sebaik Les Paul!

Kadang mereka bilang Petzl tidak seaman Camp!

siapa mereka?

Siapa mereka hingga bilang “ah kau kan nikonia…., kita beda deh!”

Disini, hasil didapat bukan dari kemampuan merek itu!

Ini industri! Mereka memang menciptakan barang tersebut layak pakai!

Baik strato maupun les paul, atau bahkan Yamaha……

Baik canon, Nikon, atau mungkin Olympus…

Baik camp, petzl atau Beal..

Bisa berfungsi dengan baik….

Mungkin mereka hanya “terbiasa” dengan warna yang sudah mereka usung dari dulu, atau

Mungkin mereka hanya termakan penaman nilai yang di berikan industry kepada mereka bahwa “INI YANG TERBAIK! LAINNYA SAMPAH!”

Dan kemudian seseorang meminta tips dan triks fotografi pada saya :

“lebih baik beli canon ato Nikon ya? Bagusan mana?”

Saya jawab :

“liat aja spec nya lo butuh apa, ini bukan sekedar masalah kameranya itu Cuma alat penunjang. Yang penting gimana tangan, otak, mata, sama niat lo yang akan bisa (mungkin) bikin foto lo lebih bagus”

Ini Cuma masalah Hati (apa yang kita rasa), otak (apa yang pikir), tangan (apa yang kita perbuat) dan sedikit bumbu keberuntungan maka hidup kita akan semakin berwarna…..

Karena sinar pun terdiri dari tujuh warna, kenapa kita tidak bisa hidup seperti sinar?

Karena baik Page maupun Hendrix berhasil menciptakan music yang sensasional karena mereka punya apa yang bisa kita sebut sebagai “soul”…

I believe in God, but not as one thing, not as an old man in the sky. I believe that what people call God is something in all of us. I believe that what Jesus and Mohammed and Buddha and all the rest said was right. It's just that the translations have gone wrong. -Lennon



i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Sampai Jumpa, “Magical Mystery Tour”….. Selamat Datang kembali, REALITA





Gedung (kapal) serbaguna, KM. TILONGKABILA GILA! kapal perekat indonesia!

Sebulan penuh sudah kami melancong mengunjungi Nusa Tenggara. Mencoba mengenal segalanya lebih dekat,bahkan mengenal teman perjalanan sendiri lebih dekat. Dan hari yang tak ingin dinanti pun harus kami temui. Pulang… haruskah? Memang berat unutk pulang, tapi kami bukan penanam pohon uang yang bisa berkelana seenak jidat kami saja tentunya. Perjalanan ini akan diakhiri dengan menumpang kapal Pelni yang bernama Tilongkabila.

Kapal ini menjadi pertemuan terakhir kami dengan segala ke-simpang-sengkarut-an (saya suka kata ini) Transportasi di Indonesia, walaupun sebetulnya kami masih menumpang truk menuju Jember dan mengendarai kereta ekonomi dari Surabaya Menuju Jakarta, tapi karena semua itu sudah saya ceritakan . Setidaknya benar bila saya katakan bahwa Kapal Laut merupakan pilihan tepat untuk mengakhiri perjalanan ini.

Kapal Tilongkabila, sama seperti kebanyakan kapal milik Pelni lainnya yang tidak hanya melayani satu tujuan saja tapi melewati beberapa pelabuhan di sepanjang Nusantara. “Kapal Nusantara” begitu saya dan Tonte menyebutnya. Karena kapal ini yang, kalau saya tidak salah, memulai perjalanan nya dari Benoa (Bali) hingga Sorong (Papua). Karena itu kami becanda bahwa kapal ini membawa misi lain selain mengantar penumpang, yaitu misi persatuan. Mempersatukan rakyat Indonesia dari berbagai daerah ke dalam satu wadah dimana mereka tidak bisa lari karena dikelilingi binatang laut karnivora dari selat Malaka hingga laut Aru.



terimakasih Pelni untuk merekatkan Indonesia!


Lemas rasanya ketika pertama kali melihat kapal itu muncul di depan mata kami. Ratusan orang yang saling bertumpukan di dek kapal ditambah lagi ratusan (atau mungkin ribuan?) orang-orang yang menunggu untuk turut menumpang kapal itu menuju Lembar atau Benoa. Setidaknya detik itu kami langsung membayangkan di kepala kami bagaimana posisi tidur kami nanti di kapal, bagaimana kondisi WC di kapal itu (setelah WC itu melacurkan dirinya pada ratusan orang di kapal itu), hingga masalha sepele antara akan berdiri atau dudukkah kita nanti.

Sesiap apapun kami dengan kegilaan yang sudah kami perkirakan sebelum berangkat pun rasanya tidak membuat rasa dag-dig dug-duer kami hilang begitu saja melihat pemandangan I depan kami. terasa seperti sinetron yang sering melebih-lebihkan dan tak bisa ditebak jalan ceritanya. Adegan pertama dari Sinetron ini adalah perebutan tahta (baca : tempat meletakan pantat dalam arti harafiah) yang dilakukan dengan beringas oleh para penumpang yang merasa berhak memiliki tahta2 itu. Dan gilanya mereka melakukan itu ketika penumpang lainnya sedang berusaha unutk turun dengan membawa oleholehuntukkampunghalaman yang berukuran tidak, sekali lagi SANGAT TIDAK ,kecil ukurannya. Belum lagi para pedagang.

Entah karena sudah terbiasa, atau kerena terpaksa, mereka dengan mudah nya melempar lempar barang-barang itu ke arah penumpang yang berusaha, memaksa tepatnya, naik sebelum waktunya. Kocar-kacir seperti kaca yang tertimpa batu dari atas, begitulah kira-kira kondisi para penumpang yang tertimpa barang-barang tersebut. Kami? menunggu sampai semuanya tenang.toh kami terbiasa untuk tidak duduk di kursi dan tidur di kasur.


"Simpang Sengkarut"

Setelah sekitar tigapuluh menit kami berhasil masuk dan kami mengambil salah satu tempat kosong di luar kabin untuk meletakan barang kami, setidaknya ada angin disana. Untuk sekedari informasi, mungkin kondisis di dalam saat itu (berbeda ketika kapal berangkat dari Lembar keesokannya) tak lebih baik dari kamp penampungan non-aria yang dibuat oleh Nazi pada jaman perang dunia ke dua. Ratusan manusia betumpukan pada sebuah papansedikitempuk tanpa ventilasi yang baik, tumpukan sampah yang menggunung di tong sampah dan kamar mandi yang sudah kami duga melacurkan diri pada siapa saja yang ingin melepas hajat.

kapal itu akhirnya berangkat dan kami memasuki babak ke dua dari sinetron kami yaitu, makan malam. Dari pengeras suara kapal itu kami mendegar bahwa makan siang bagi kami, penumpang kelas ekonomi, bisa segera di ambil di pantri segera saja di otak saya terlintas loket pembagian BLT yang saya lewati tadi dalam perjalanan menuju dek kapal. Dan benar disana lah kai mengambil makan malam kami. bersama para penumpang ekonomi lainnya kami menuju ke Pantri di mana kami disana berbaris seperti videoclipanother brick in the wall” oleh Pink Floyd. Menunggu untuk mengambil jatah ransum kami. Dan ternyata menu hari itu dan juga menu, besok pagi, dan besok siang nya adalah sekitar 4 suapan nasi (ukuran tangan saya) sebuah ikan kembung kecil yang kadang sudah tak berkepala, dan sejumput sayur kubis dingin. “kayanya sih, kata yang udah pernah, enakan makan di penjara, bunuh orang yuk”, terucap begitu saja dari mulut saya. Saya sendiri tidak tahu makan di penjara seperti apa sebetulnya. Ohya, untuk makan pagi si ikam kembung merubah wujud nya menjadi seonggok telur dadar ukuran 3x5 centimeter yang mungkin komposisi nya 9:1 antara tepung dan telurnya.


Pembagian BLT

Tak habis pikir saya bagaimana mereka bisa bertahan untuk hanya makan makanan seperti ini.mungkin mereka juga memilih alat transportasi ini karena mereka tak sanggup membeli tiket eksekutif kapal itu yang harganya mungkin dua hingga tiga kali lipat nya, apalagi sebuah tiket pesawat yang memiliki enam angka nol unutk satu orang dari wilayah timur Indonesia menuju Pualu lainnya. Yah, ayam goreng tepung ala kentaki pun tersedia dengan harga 10ribu rupiah di kantin begitu juga dengan kudapan dan kopi-kopian tapi mungkin itu bukan juga pilihan untuk mereka.

Babak kedua ditutup Malam ituketika kami memutuskan untuk menyeruput beberapa gelas kopi dan segera tidur dengan sedikit cipratan-cipratan air dari samping kapal.malam itu tidur kami,setidaknya say, cukup nyenyak. Tidur itu pun harus berakhir ketika kami dbangunkan oleh para petugas pembersih dan panggilan makan pagi (makan pagi? Atau lebih baik saya sebut racunseribunestapapembawaduka a la kho ping ho?).

Kamera, rolling, action! Adegan ketiga di mulai.Beberapa jam setelah makan pagi kami merapat di Pelabuhan Lembar. Semakin banyaknya penumpang yang turun di pelabuhan tak membuat kapal ini tersana lenggang. Dan sampah yang diturunkan di pelabuhan itu membuat saya kagum, karena setidaknya say abisa memperkirakan berapa jumlah penumpang dari kapal tersebut, tak kurang dari seribu kepala! Dari atas saya mempaerhatikan para petugas melempar sampah-sampah itu ke dermaga dimana sebiah truk sampah sudah menunggu dan tentunya, pemlung-pemulung kecil yang mengais sampah itu unutk sekedar tambahan uang jajan.


memperbaiki pintu rusak sampah



"pacar?3000km lagi..."

Rasa bosan yang berkepanjangan dan Sedikit penasaran dengan kapal ini saya kemudian berkeliling. Itu pun di pancing dengan panggilan a la bioskop 21 yang mengatakan bahwa pemutaran filmhari itu akan segera dimulai “sebuah film drama-dewasa hollywod berjudul something gotta give akan segera diputar di bioskop tilongkabila limabelas menit ke depan”. Hmm, menarik juga..tapi tenyata itu hanya satu-nya film bagus yang diputar selama perjalanan saat itu. Film selanjutnya yang menyusul adalah “hantu si jembatan ancol” dan “hantu ambulans” (ngomong-nogmong, turut berduka cita atas meninggalnya suzanna sang ratu horror pemakan melati kebanggaan Indonesia, tanggal 16 september 2009. Semoga arwahnya segera bangkit dan menjadi ahntu pertama yang di kontrak unutk bermain film dan berperan sebagai hantu. Ditunggu comeback-nya!). Dengan lima ribu rupiah anda diijinkan menonton bioskop dengan kursi a la kadarnya.

Di depan bioskop yang berkapasitas sekitar sepuluh orang itu saya melihat satu hiburan lagi berupa Playstation 2 yang disewakan dengan harga lima belasribu rupiah per jam nya, dan pastinya menjadi rebutan anak-anak di Kapal itu. Sempat terpikir untuk bermain tetapi harus diurungkan ketika saya sadar bahwa kelihatannya kurang bijak, dewasa, dan gagah bilah saya harus bertengkar, atau kemungkinan besar merampas, mainan itu dari anak-anak yang masih berumur sama dengan adik saya sendiri (6-8 tahun).

festival film horror terapung dan playstation

Perngamatan dilanjutkan dengan bertemunya saya dengan beberapa penjual arloji dan perhiasan yang mangkal di bordess (istilah kereta, entah apa namanya di kapal laut) antara kabin yang satu dan kabin yang lain. Dan untuk barang dagangan yang pasaranya sebetulnya tidak sebesar makanan dan minuman mereka terlihat cukup menikmati pasar yang mereka buat sendiri itu. Untuk yang satu ini saya tidak mengabadikannya karena panasnya suhu ruangan itu karena minimnya ventilasi yang berpengaruh pada mudahnya putusnya urat sabar seseorang. Dan saya, entah kenapa, sedang malas untuk bersenda-gurau seperti biasa untuk lebih mengenal mereka. Mungkin sedikit anti klimaks dari perjalanan ini. Tentunya kemalasan ini saya sesali kemudia di Jakarta.

Tak lama kemudian saya melihat seorang ABK yang sedang marah kepada seorang penumpang yang ternyata membawa ayam hidup di dalam karung dan diletakan di dalam kapal, bukan pada bagian dek. Yang menyebabkan bau yang……..yah, kalian pasti tahu lah.

Lelah berjalan-jalan dan jam menunjukan pukul dua belas siang, yang berarti sebentar lagi kami akan merapat di Benoa. Setelah melewati perjalanan yang tak kalah panjangnya menuju gilimanuk. Menumpang truk dengan - bayaran sebungkus rokok - menuju Jember -untuk mencicipi martabak terang bulan Jember yang harus bersaing dengan terang bulan londo (Pizza HUT yang baru dibuka di Jember)-. Dan tak boleh dilupakan kericuhan selama delapan belas jam di dalam kuda besi “gaya baru malam selatan”.




Martabak Terang bulan Lokal dan terang bulan "londo"


perbedaan Harga

Akhirnya savana terik dan langit biru sumbawa; lumba-lumba yang berlompatan di Flores; dan sawah-sawah hijau di jawa timur, tengah, dan barat yang biasa kami lihat di jendela , yang kadang tanpa kaca, kendaraan tumpangan kami harus bertransformasi menjadi onggokan sampah di samping gedung beton, perumahan di pinggir rel, kemacetan penuh makian dan pastinya langit abu-abu khas Ibukota. Berakhirnya sbeuah perjalanan seringkali membuat kami lemas karena harus menghadapi rutinitas-rutinitas seperti biasanya lagi. Tetapi mengutip Steven Tyler dalam lagunya Amazing yang mengatakan “life is a journey, not a destination”, kita bisa berpretensi pada diri kita sendiri untuk tetap menjalani sebuah perjalanan lainnya, perjalanan kehidupan. Segala yang kami dapat dari perjalanan ini tentunya sangat berpengaruh pada perkembangan hidup kami setelahnya.


Kembali ke kenyataan

SAMPAI JUMPA PADA PERJALANAN BERIKUTNYA

VIVA LA VIE BOHEME!!!!!



i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Rabu, 08 Oktober 2008

Cerita dari Seorang Petualang..


Ini adalah Ludovic dan Hilda. Salah dua dari beberapa pelancong asing yang kami temui dalam perjalanan kemarin. Kami bertemu di ferry dalam perjalanan pulang menuju pulau Sumbawa. Sebetulnya saya berkenalan dengan doug, yang berasal dari Amerika Serikat, (maaf tak ada foto tersedia) dan karena secara kebetulan saya dan Doug memiliki hobi yang sama (*ngoceh/cerita ngalor ngidul) kami kemudian bercerita tentang banyak hal. Sebagian besar tentang perjalanan, sisanya tentang kehidupan (yang sebagian besat diisi dengan perjalanan).

Kemudian kami berkenalan juga dengan Andy yang berasal dari Inggris. Dalam percakapan kami setidaknya bias saya asumsikan mereka cukup terkagum-kagum dengan cara kami bertualang dan kenapa (setidaknya saya) berpetualang. Bagiamana kami tidak mengeluarkan uang sepeser pun uantuk akomodasi sepanjang perjalanan ini. Bagaimana kami menumpang dari satu Universitas ke Universitas lainnya, Bagaimana persaudaraan antar pencinta alam menyediakan atap dan karpet untuk kami, bagaimana musholla dan kantor polisi bias saja menjadi tempah berteduh kami. belum lagi cerita-cerita mengenai transportasi di Indonesia yang sepertinya cukup simpang sengkarut. Cerita mengenai menumpang truk dan kereta ekonomi, dan tak boleh dilupakan cakung cilincing ala Sumbawa.

Kita , sebagai manusia, selalu saja merasa tidak puas. Mereka iri dengan betapa muda dan bersemangatnya kami. dan kami pun iri betapa menyenangkannya mereka bekerja selama sepuluh bulan untuk dua bulan liburan keliling dunia, setiap tahunnya. Tapi setidaknya kami mensyukuri kami masih bias dan mau menyisihkan waktu kami unutk hal-hal seperti ini. Kami bersyukru kami masih bisa menikmati indahnya kekayaan Indonesia.

Kepribadian baru lagi! Doug adalah warganegara AS yang menjual segala miliknya dan tinggal di Thailand. Sementara Ludovic dan Hilda jika di definisikan adalah para Gap Backpacker (mereka yang bertualang pada saat liburan atau jeda diantara waktu kerja atau kuliah mereka.) mereka berdua tinggal di Belgia dan bekerja pada suatu perusahaan periklanan yang mempberikan libur selama satu bulan setiap tahunnya. Waktu ini lah yang mereka gunakan untuk melihat negara lain. Kenapa Indonesia? Karena jauh lebih murah dari Islandia. “dalam lima minggu di Indonesia, kami munkgin akan menghabiskan uang dalam jumlah yang sama bila kami menghabiskannya di Islandia selama dua minggu”.Menakjubkan bukan? Dalam menuju kota Bima mereka meminta bantuan dari kami untuk mencari kendaraan. Karena seperti hampir di tempat lain dimana seseorang pendatang ,yang begitu mencolok perbedaan nya secara fisik, seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil jika menyangkut masalah ongkos.

Selanjutnya saya mengajak Doug untuk ngopi-ngopi di buritan(bagian belakang kapal) karena barang-barang kami disana. Dan pada saat itulah ia kaget ketika kami mengeluarkan kompor Trangia yang dibawa oleh tonte. Ya dia mengatakan unutk para gembel yang tak mengeluarkan sepeser pun uang untuk menginap di kantor polisi, musholla, dan pencinta alam terdekat kami memiliki peralatan perjalanan yang cukup bagus. Hal yang sama yang disampaikan ludovic di atas bis kemudian ketika melihat kamera saya, yang notabene lebih bagus dari kamera miliknya. Pertanyaan pun timbul dari mereka, kenapa kami membuat perjalanan kami “sulit”, walaupun mereka pun mengakui bahwa cerita kami menarik, sedangkan di lain sisi kami memiliki uang yang dapat kami sisihkan untuk membeli peralatan perjalanan yang sebenarnya tidak juga murah.

Jawaban kami?, “karena kami mau…” pertama, membuat sebuah perjalanan menjadi lux tidaklah sulit kereta eksekutif atau bisnis?, hotel?, membayar untuk masuk ke Pulau Komodo? Beberapa kal tersebut mungkin hanya harus di kompensasi biaya yang membengkak. Mungkin ini bisa saja kami lakukan, tetapi rasanya akan ada yang hilang dari tujuan perjalanan ini. Tujuan pertama yang tak lain adalah keinginan kami untuk melihat Indonesia dari dekat, dan melihat dari dekat berarti melihat masyarakatnya bukan?

Dan melihat tentunya bukan hanya hanya dilakukan dengan mata. Tetapi juga hati. Melihat bagaimana mereka hidup sehari-harinya, kesulitan apa yang mereka alami, kebiasaan-kebiasaan yang berbeda pada setiap daerah yang ada di Indonesia setidaknya membuat kami selangkah lebih maju unutk mengenal Indonesia, dan masih ada ratusan, bahkan ribuan langkah lagi yang menunggu di depan.

Dengan “mengenal” mereka, dapat menumbuhkan rasa cinta kami.Tidak hanya kepada masyarakat secara langsung. Tetapi kepada negeri kita sendiri. Di antara semua kaegaduhan yang ada di negeri ini, setidaknya untuk kami, masih ada alasan untuk tetap mencintai negara ini. Madu yang diambil dengan pertaruhan nyawa, Laut yang biru dengan ikan segar berkeliaran disekitar kita, delapan buah matahari yang menusuk kulit, naga pra-sejarah, menjadi alasan-alasan kenapa kami tetap dan semaki mencintai negara ini. Dan pastinya, tak semua hal dapat dibayar dengan uang, seperti keramahan penduduk yang dengan tulus melayani kami dengan “several simple things of kindness” yang membuat kami nyaman selama perjalanan. Gurihnya nasi yang disajikan hanya sambal dan sepotong kecil ikan asin, atap untuk berteduh, kapal penyelamat, menonton sinetron Indonesia abal-abal dan membaca koran setelah beberapa minggu tidak bersentuhan dengan mereka, tumpangan truk dari satu tempat menuju ke tempat lainnya, jambu biji gratis yang boleh kami petik langsung dari kebunnya, dan tak boleh dilupakan kasur untuk tidur di Pulau Komodo (satu-satunya kasur selama perjalanan yang justru kami dapatkan di desa paling jauh dari perjalanan yang kami kunjungi). Hal-hal tersebut hanyalah sebagian dari pengalaman berharga yang mungkin tidak bisa kami beli dengan uang. Pengalaman yang, tak pernah bosan-bosannya saya ucapkan, menambah rasa inta kami kepada negeri ini.

Ini mungkin baru awal dari perjalanan kami untuk semakin mengenali Indonesia, masih banyak pengalaman berbeda yang dapat kami temukan di belahan desa lain, atau pasar, atau kebun, di seluruh pelosok Indonesia. Karena itu mengutip perkataan seorang teman saya yang agak gila “jangan pernah berhenti bereksplorasi”

JAYA INDONESIA!

Jumat, 12 September 2008

Desa Naga, Pelaut, dan Parabola




Membunuh Waktu di Atas Losmen Terapung

Pagi itu masih seperti pagi-pagi yang lain dalam perjalanan kami. Matahari , dan kicauan burung masih menjadi alarm bagi kami. Para penduduk yang lalu-lalang melakukan rutinitasnya mengganggu tidur nyenyak kami. Hanya ada satu hal yang berbeda yaitu tempat tidur kami yang berayun-ayun tanpa henti semalaman. Mungkin karena malam itu kami menumpang tidur di atas kapal milik penduduk Desa Komodo. Kapal penduduk bermuatan 20-30 orang itu menjadi tempat berteduh kami hari itu.

Sebagai bangsa Indonesia kita pasti tahu apa itu Komodo, reptilia terbesar yang masih hidup. Kita pun tahu bahwa binatang iniadalah satwa endemik yang hanya hidup di Indonesia. Dan kita tahu bahwa binatang ini adalah salah satu objek wisata yang paling dicari oleh wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Tak sedikit orang yang rela merogoh kocek nya untuk melihat hewan pemakan bangkai ini. Dari mengikuti jasa pelayanan tur yang menggunakan kapal pesiar, hingga mereka yang menyewa kapal untuk pergi ke pulau yang yang terletak tak jauh dari lepas pantai Flores ini. Kala itu kami ingin mencoba cara lain.

Keterbatasan dana merupakan kelemahan kami. Sedangkan keleluasaan waktu adalah kekuatan kami. Itulah yang menjadi perhitungan kami untuk melakukan perjalanan ini. Sesampainya di Labuhan Bajo, pelabuhan di Barat Flores, kami ber-lima langsung membagi-bagi tugas. Beberapa mencari Informasi untuk transportasi menuju Pulau Komodo, dan sisanya mencari bahan makanan di Pasar. Kebetulan saya mendapat tugas unutk mencari transportasi.
Dari data-data dan informasi yang kami dapatkan, kami mengetahui bahwa untuk mencapai Pulau Komodo adalah dengan meenggunakan jasa Travel atau men-carter kapal di pelabuhan. Dari awal opsi untuk menggunakan jasadari agensi perjalanan sudah kami coret dari daftar. Tentunya kami tidak akan mampu membayar biaya yang rata-rata disiapkan untuk turis asing itu.

Awalnya kami mencoba untuk bersosialisasi dengan beberapa turis asing unutk memperingan biaya penyewaan kapal namun karena ketidakcocokan waktu membuat kami harus membatalkan rencana itu. Saya pun teringat akan desa Komodo. Salah satu dari sekian banyak desa yang ada di dalam kawasan Taman nasional, bahkan sebelum taman nasional itu berdiri. Dan benar, kami akhirnya menemukan kapal penduduk yang akan pulang ke Pulau Komodo. Dengan biaya yang jauh lebih murah kami pun bisa menyebrang ke Pulau Komodo. Losmen terapung pun telah disiapkan untuk kami. Kapal yang akan kami tumpangi itu akan berangkat keesokan paginya dan kami diijinkan untuk menginap di Kapal tersebut.



Memperbaiki Kapal


Losmen terapung

Kapal baru akan berangkat keesokan paginya dan kami punya waktu seharian di Labuhan Bajo. Waktu yang kami gunakan untuk membeli perbekalan yang akan kami butuhkan di pulau komodo. Malam itu pun kami mendapatkan tempat menginap yang cukup sensasional. Kapal penumpang yang akan kami gunakan untuk menyebrang ke Pulau Komodo esok.

Setelah kami berbicara dengan sang Nahkoda kami pun mengetahui bahwa Kapal itu ternyata milik aah dari Siti Hajar, salah eorang teman dari Ditto yang dulu bersekolah di Bima. Dan Hajar yang akan bersekolah di Mataram baru saja satru minggu yang lalu pulang ke desa Komodo. Ha! Setidaknya kami sudah memiliki tempat menginap di sana. Toh, sebenarnya tanpa hajar pun kami kemungkinnan akan mencoba menginap di rumah Kepala desa.

Malam itu kami bisa menikmati makan malam hasil tangkapan kami sendiri. Laut yang jernih mengijinkan semua orang , bahkan yang awam terhadap kegiatan memeancing pun bisa mendapatkan ikan (dengan catatan saya tidak berhasil menangkap satupun).Ikan Sencara yang paling banyak kami tangkap menjadi salah satu camilan yang paling sering kami makan. TANGKAP SENDIRI, OLAH SENDIRI, MAKAN SENDIRI. Dan semboyan D.I.Y kami pakai disini.


Tangkap...

Olah....


masak lalu Makan!


Pagi berikutnya, sekitar pukul 10 pagi, kapal berangkat dan perjalanan memakan waktu lima jam. Dan hari itu tenryata kami tidak bisa mendapat tempat untuk berteduh karena bagian dalam kapal itu diprioritaskan untuk ibu-ibu, anak-anak, karung-karung beras, dan kerupuk. Karena itu Kami berlima dan beberapa pemuda lainnya terpaksa terjemur seperti ikan asin di atas Kapal penumpang tersebut.

kapal mulai memuat barang-barang belanjaan para penduduk. Mereka terpaksa harus membeli bahan pangan di darat (penduduk yang tinggal di pulau biasa disebut orang pulo) karena tidak adanya perkebunan di wilayah Desa Komodo yang merupakan salah satu bagian dari Taman nasional komodo. Taman Nasional sebagai media konservasi tentunya tidak bisa mengijinkan pembuatan lahan pertanian yang kemungkinan besar akan mengganggu habitat dari Komodo itu sendiri.selain itu tradisi penduduk desa yang mata pencahariannya mencari ikan juga mempengaruhi tidak adanya lahan pertanian di desa Komodo.


Shopping madness! Dijemur!

Di atas kapal dalam Perjalanan menuju desa kami dibuat terkagum-kagum oleh pemandangan yang disajikan oleh alam kepada kami. Bukit-bukit tua yang engingatkan kita pada film Lord of the Ring, Lumba-lumba dan penyu yang berenang bebas di sekitar perahu Dimulai dari dua ekor elang yang berkelahi dengan seekor elang lainnya layaknya pesawat Spitfire Inggris yang harus berjuang melawan mustang Nazi dalam Battle of Britain. Penyu dan Lumba-Lumba yang melompat bebas bersama Pari Manta di sekitar kapal tumpangan kami, panorama yang indah dan kawasan budidaya rumput laut disajikan berturut-turut kepada kami.


Elang melayang menembus awan


penyu dan Lumba-lumba saling timbul dan tenggelam


dan camar membelah angkasa..
(sayang sang manta tak terabadikan)


Budidaya Rumput Laut Panorama


Tiba di desa






Selamat datang di desa nelayan

Desa Komodo sendiri merupakan desa kecil yang hanya dihuni sekitar 1300-an penduduk. Mayoritas mata pencaharian mereka adalah nelayan. Dan terlepas dari penampilan rumah mereka yang ala kadarnya tingkat kemakmuran para penduduk ,yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan, sangatlah baik. Mungkin itu sebabnya hampir di setiap rumah yang rata-rata berdindingkan papan kita bisa melihat parabola terpajang di depannya. Mungkin ini semua hanya masalah prioritas saja.

Selain mencari ikan para penduduk juga memiliki pekerjaan sambilan yaitu membuat patung replica Komodo dari yang berukuran 20 centi meter hingga berukuran sama dengan Komodo Dewasa. Para pembuat patung ini mulai berkerja apabila Bulan Purnama dimana mereka sulit unutk mendapatkan ikan. Patung-patung ini dijual dengan harga yang bervariasi, dari duapuluh ribu rupiah sampai tiga juta rupiah.


Pengrajin Patung

Listrik yang hanya mengaliri desa ini dari pukul enam sore hingga dua belas malam pun menjadi sebuah keuntungan dan kerugian tersendiri bagi penduduknya. Setidaknya bagi saya sendiri melihat anak-anak bermain di luar rumah bersama-sama merupakan nilai postif. Hal yang tentunya sangat berbeda dengan keadaan di perkotaan besar dimana anak-anak tidak bisa hidup tanpa televisi dan permainan elektronik. dan kami pun sempat menikmati camilan udang rebon, asam yang dicampur jadi satu.

Bermain di Luar Rumah

camilan udang rebon

Dari berbagai sumber di desa akhirnya kami mengetahui bahwa hanya lima orang saja, dari seluruh penduduk desa Komodo, yang berkerja untuk Taman Nasional Komodo (TNK). Hal ini mungkin dikarenakan kurang memenuhinya syarat penduduk desa untuk bisa berkerja di TNK. Jumlah pemandu disana tidak terlalu banyak dan minimnya kalangan terdidik di desa ini sangatlah rendah. Hal ini yang mungkin menjadi pertimbangan bangi TNK mengapa mereka tidak memiliki pegawai dari Desa Komodo.

Karena sejauh pengelihatan saya hanya ada satu bangunan SD di desa itu dan SMP yang berada satu gendung dengan SD tersebut. Dan dari hasil pembicaraan dengan pak kades kami mengetahui bahwa hanya ada tiga orang sarjana saja di Desa tersebut.
Hal ini jugalah yang seringkali menimbulkan pertentanganan di antara penduduk desa dan TNK. TNK yang berusaha mengkonservasi wilayah tersebut dengan peraturan (yang sebetulnya baik , mis : pelarangan penggunaan racun dan bom, perburuan rusa liar, dll) sering kali bersinggungan dengan Masyarakat yang merasa dikekang walaupun mereka hidup disana sejak jaman nenek Moyang mereka. Seringkali mereka merasa dibatasi dalam usaha-usahanya untuk bertahan hidup.


Iconic creature Desa Parabola

Menuju Taman Nasional Komodo




Taman Nasional Komodo

Keesokan hairnya kami berangkat ke pintu masuk TNK, Loh Liang. Musim kawin Komodo pada saat itu membuat kami tidak bisa melihat komodo di sekitar desa karena mereka bersembunyi. Dan rasanya kurang tenang bagi batin kami bila belum melihat binatang ini secara langsung di habitat asli nya. Kami pun menyusuri pantai selama kurang lebih satu jam dari desa untuk mencapai Loh Liang.
Di sana kami bertemu dengan beberapa rombongan wisatawan asing yang gagal melihat “Ora”, begitu komodo disebut di sana, yang sedang bersembunyi. Dan kejadian itu sempat membuat kami gelisah.


Tongkat yang digunakan pemandu untuk menghalau Komodo

Setelah bertemu dengan Mas Herman, penduduk desa yang berkerja di TNK yang diperkenalkan oleh pak kades, kami pun diajak berjalan berkeliling untuk mencari Komodo. Sedikit cerita bahwa seorang backpacker harus memiliki social skill yang tinggi karena mereka biasa masuk kedaerah yang notabene bukan daerah wisata. Toh, walaupun TNK merupakan daerah wisata,social skill kami berguna disini. Karena dengan modal senyuman manis para penjaga mengijinkan kami masuk tanpa perlu membayar biaya retribusi.

Kami akhirnya berjalan-jalan bersama para staf dari taman nasional yang sedang beristirahat karena kamilah grup turis terakhir yang masih ada disana.
Rasa putus asa pun sempat menghampiri kami ketika seekor ‘ora’ yang sangat besar lari ketika kami baru menyadari keberadaannya. Rasa putus asa itu akhirnya hilang ketika seekor ora lain menghampiri dan tidur di dekat tempat kami beristirahat. “ seumur hidup baru dua kali saya mengantar orang dan dihampiri komodo. Dan saat itu para wisatawan membayar tiket masuk”, canda mas Herman.

Kebetulan Komodo itu baru saja makan dan mencari tempat untuk tidur. “dia gak bakal gerak lagi sampe besok pagi”, kata mas herman karena itulah kami puas sekali melakukan sesi fotografi dengan binatang legendaris itu. Dan si “komo” pun mendukung dengan menggelegg-gelengkan kepala dan mengedap-ngedipkan mata nya.


yang pertama kabur yang kedua gila popularitas


Dia datang seakan tak peduli pada kami

Dan setelah puas melakukan sesi foto kami pun pulang ke desa dan bersiap-siap untuk pulang. Dan kebetulan kami pulang saat air laut mulai surut dan memperlihatkan terumbu-terumbu karang di tepi pantai yang timbul karena surut nya air laut dan beberapa penduduk yang mengumpulkan kerang untuk dijadikan Souvenir. Dalam perjalan kali ini, seperti perjalanan lainnya kami melihat banyak hal dan dengan semakin banyak kami melihat hal-hal baru, kepekaan dan sensitifitas kami makin terlatih. Dan dua hal itu lah yang membuat kami semakin mencintai Negara ini. Karena untuk mencintai Indonesia tidak mungkin tanpa mengenali. Dan unutk mengenali kita harus mengenal dari dekat masyarakat yang ada di dalamnya, bukan?


"Kami" pencari kerang





Terumbu karang yang terjebak oleh surut nya pantai



beberapa satwa lain di TNK (santapan para komodo juga)



(dua foto panorama oleh Fikri M.A)



Rocker Goat, "Rock n Roll is EVERYWHERE!

i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"