Jumat, 12 September 2008

Desa Naga, Pelaut, dan Parabola




Membunuh Waktu di Atas Losmen Terapung

Pagi itu masih seperti pagi-pagi yang lain dalam perjalanan kami. Matahari , dan kicauan burung masih menjadi alarm bagi kami. Para penduduk yang lalu-lalang melakukan rutinitasnya mengganggu tidur nyenyak kami. Hanya ada satu hal yang berbeda yaitu tempat tidur kami yang berayun-ayun tanpa henti semalaman. Mungkin karena malam itu kami menumpang tidur di atas kapal milik penduduk Desa Komodo. Kapal penduduk bermuatan 20-30 orang itu menjadi tempat berteduh kami hari itu.

Sebagai bangsa Indonesia kita pasti tahu apa itu Komodo, reptilia terbesar yang masih hidup. Kita pun tahu bahwa binatang iniadalah satwa endemik yang hanya hidup di Indonesia. Dan kita tahu bahwa binatang ini adalah salah satu objek wisata yang paling dicari oleh wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Tak sedikit orang yang rela merogoh kocek nya untuk melihat hewan pemakan bangkai ini. Dari mengikuti jasa pelayanan tur yang menggunakan kapal pesiar, hingga mereka yang menyewa kapal untuk pergi ke pulau yang yang terletak tak jauh dari lepas pantai Flores ini. Kala itu kami ingin mencoba cara lain.

Keterbatasan dana merupakan kelemahan kami. Sedangkan keleluasaan waktu adalah kekuatan kami. Itulah yang menjadi perhitungan kami untuk melakukan perjalanan ini. Sesampainya di Labuhan Bajo, pelabuhan di Barat Flores, kami ber-lima langsung membagi-bagi tugas. Beberapa mencari Informasi untuk transportasi menuju Pulau Komodo, dan sisanya mencari bahan makanan di Pasar. Kebetulan saya mendapat tugas unutk mencari transportasi.
Dari data-data dan informasi yang kami dapatkan, kami mengetahui bahwa untuk mencapai Pulau Komodo adalah dengan meenggunakan jasa Travel atau men-carter kapal di pelabuhan. Dari awal opsi untuk menggunakan jasadari agensi perjalanan sudah kami coret dari daftar. Tentunya kami tidak akan mampu membayar biaya yang rata-rata disiapkan untuk turis asing itu.

Awalnya kami mencoba untuk bersosialisasi dengan beberapa turis asing unutk memperingan biaya penyewaan kapal namun karena ketidakcocokan waktu membuat kami harus membatalkan rencana itu. Saya pun teringat akan desa Komodo. Salah satu dari sekian banyak desa yang ada di dalam kawasan Taman nasional, bahkan sebelum taman nasional itu berdiri. Dan benar, kami akhirnya menemukan kapal penduduk yang akan pulang ke Pulau Komodo. Dengan biaya yang jauh lebih murah kami pun bisa menyebrang ke Pulau Komodo. Losmen terapung pun telah disiapkan untuk kami. Kapal yang akan kami tumpangi itu akan berangkat keesokan paginya dan kami diijinkan untuk menginap di Kapal tersebut.



Memperbaiki Kapal


Losmen terapung

Kapal baru akan berangkat keesokan paginya dan kami punya waktu seharian di Labuhan Bajo. Waktu yang kami gunakan untuk membeli perbekalan yang akan kami butuhkan di pulau komodo. Malam itu pun kami mendapatkan tempat menginap yang cukup sensasional. Kapal penumpang yang akan kami gunakan untuk menyebrang ke Pulau Komodo esok.

Setelah kami berbicara dengan sang Nahkoda kami pun mengetahui bahwa Kapal itu ternyata milik aah dari Siti Hajar, salah eorang teman dari Ditto yang dulu bersekolah di Bima. Dan Hajar yang akan bersekolah di Mataram baru saja satru minggu yang lalu pulang ke desa Komodo. Ha! Setidaknya kami sudah memiliki tempat menginap di sana. Toh, sebenarnya tanpa hajar pun kami kemungkinnan akan mencoba menginap di rumah Kepala desa.

Malam itu kami bisa menikmati makan malam hasil tangkapan kami sendiri. Laut yang jernih mengijinkan semua orang , bahkan yang awam terhadap kegiatan memeancing pun bisa mendapatkan ikan (dengan catatan saya tidak berhasil menangkap satupun).Ikan Sencara yang paling banyak kami tangkap menjadi salah satu camilan yang paling sering kami makan. TANGKAP SENDIRI, OLAH SENDIRI, MAKAN SENDIRI. Dan semboyan D.I.Y kami pakai disini.


Tangkap...

Olah....


masak lalu Makan!


Pagi berikutnya, sekitar pukul 10 pagi, kapal berangkat dan perjalanan memakan waktu lima jam. Dan hari itu tenryata kami tidak bisa mendapat tempat untuk berteduh karena bagian dalam kapal itu diprioritaskan untuk ibu-ibu, anak-anak, karung-karung beras, dan kerupuk. Karena itu Kami berlima dan beberapa pemuda lainnya terpaksa terjemur seperti ikan asin di atas Kapal penumpang tersebut.

kapal mulai memuat barang-barang belanjaan para penduduk. Mereka terpaksa harus membeli bahan pangan di darat (penduduk yang tinggal di pulau biasa disebut orang pulo) karena tidak adanya perkebunan di wilayah Desa Komodo yang merupakan salah satu bagian dari Taman nasional komodo. Taman Nasional sebagai media konservasi tentunya tidak bisa mengijinkan pembuatan lahan pertanian yang kemungkinan besar akan mengganggu habitat dari Komodo itu sendiri.selain itu tradisi penduduk desa yang mata pencahariannya mencari ikan juga mempengaruhi tidak adanya lahan pertanian di desa Komodo.


Shopping madness! Dijemur!

Di atas kapal dalam Perjalanan menuju desa kami dibuat terkagum-kagum oleh pemandangan yang disajikan oleh alam kepada kami. Bukit-bukit tua yang engingatkan kita pada film Lord of the Ring, Lumba-lumba dan penyu yang berenang bebas di sekitar perahu Dimulai dari dua ekor elang yang berkelahi dengan seekor elang lainnya layaknya pesawat Spitfire Inggris yang harus berjuang melawan mustang Nazi dalam Battle of Britain. Penyu dan Lumba-Lumba yang melompat bebas bersama Pari Manta di sekitar kapal tumpangan kami, panorama yang indah dan kawasan budidaya rumput laut disajikan berturut-turut kepada kami.


Elang melayang menembus awan


penyu dan Lumba-lumba saling timbul dan tenggelam


dan camar membelah angkasa..
(sayang sang manta tak terabadikan)


Budidaya Rumput Laut Panorama


Tiba di desa






Selamat datang di desa nelayan

Desa Komodo sendiri merupakan desa kecil yang hanya dihuni sekitar 1300-an penduduk. Mayoritas mata pencaharian mereka adalah nelayan. Dan terlepas dari penampilan rumah mereka yang ala kadarnya tingkat kemakmuran para penduduk ,yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan, sangatlah baik. Mungkin itu sebabnya hampir di setiap rumah yang rata-rata berdindingkan papan kita bisa melihat parabola terpajang di depannya. Mungkin ini semua hanya masalah prioritas saja.

Selain mencari ikan para penduduk juga memiliki pekerjaan sambilan yaitu membuat patung replica Komodo dari yang berukuran 20 centi meter hingga berukuran sama dengan Komodo Dewasa. Para pembuat patung ini mulai berkerja apabila Bulan Purnama dimana mereka sulit unutk mendapatkan ikan. Patung-patung ini dijual dengan harga yang bervariasi, dari duapuluh ribu rupiah sampai tiga juta rupiah.


Pengrajin Patung

Listrik yang hanya mengaliri desa ini dari pukul enam sore hingga dua belas malam pun menjadi sebuah keuntungan dan kerugian tersendiri bagi penduduknya. Setidaknya bagi saya sendiri melihat anak-anak bermain di luar rumah bersama-sama merupakan nilai postif. Hal yang tentunya sangat berbeda dengan keadaan di perkotaan besar dimana anak-anak tidak bisa hidup tanpa televisi dan permainan elektronik. dan kami pun sempat menikmati camilan udang rebon, asam yang dicampur jadi satu.

Bermain di Luar Rumah

camilan udang rebon

Dari berbagai sumber di desa akhirnya kami mengetahui bahwa hanya lima orang saja, dari seluruh penduduk desa Komodo, yang berkerja untuk Taman Nasional Komodo (TNK). Hal ini mungkin dikarenakan kurang memenuhinya syarat penduduk desa untuk bisa berkerja di TNK. Jumlah pemandu disana tidak terlalu banyak dan minimnya kalangan terdidik di desa ini sangatlah rendah. Hal ini yang mungkin menjadi pertimbangan bangi TNK mengapa mereka tidak memiliki pegawai dari Desa Komodo.

Karena sejauh pengelihatan saya hanya ada satu bangunan SD di desa itu dan SMP yang berada satu gendung dengan SD tersebut. Dan dari hasil pembicaraan dengan pak kades kami mengetahui bahwa hanya ada tiga orang sarjana saja di Desa tersebut.
Hal ini jugalah yang seringkali menimbulkan pertentanganan di antara penduduk desa dan TNK. TNK yang berusaha mengkonservasi wilayah tersebut dengan peraturan (yang sebetulnya baik , mis : pelarangan penggunaan racun dan bom, perburuan rusa liar, dll) sering kali bersinggungan dengan Masyarakat yang merasa dikekang walaupun mereka hidup disana sejak jaman nenek Moyang mereka. Seringkali mereka merasa dibatasi dalam usaha-usahanya untuk bertahan hidup.


Iconic creature Desa Parabola

Menuju Taman Nasional Komodo




Taman Nasional Komodo

Keesokan hairnya kami berangkat ke pintu masuk TNK, Loh Liang. Musim kawin Komodo pada saat itu membuat kami tidak bisa melihat komodo di sekitar desa karena mereka bersembunyi. Dan rasanya kurang tenang bagi batin kami bila belum melihat binatang ini secara langsung di habitat asli nya. Kami pun menyusuri pantai selama kurang lebih satu jam dari desa untuk mencapai Loh Liang.
Di sana kami bertemu dengan beberapa rombongan wisatawan asing yang gagal melihat “Ora”, begitu komodo disebut di sana, yang sedang bersembunyi. Dan kejadian itu sempat membuat kami gelisah.


Tongkat yang digunakan pemandu untuk menghalau Komodo

Setelah bertemu dengan Mas Herman, penduduk desa yang berkerja di TNK yang diperkenalkan oleh pak kades, kami pun diajak berjalan berkeliling untuk mencari Komodo. Sedikit cerita bahwa seorang backpacker harus memiliki social skill yang tinggi karena mereka biasa masuk kedaerah yang notabene bukan daerah wisata. Toh, walaupun TNK merupakan daerah wisata,social skill kami berguna disini. Karena dengan modal senyuman manis para penjaga mengijinkan kami masuk tanpa perlu membayar biaya retribusi.

Kami akhirnya berjalan-jalan bersama para staf dari taman nasional yang sedang beristirahat karena kamilah grup turis terakhir yang masih ada disana.
Rasa putus asa pun sempat menghampiri kami ketika seekor ‘ora’ yang sangat besar lari ketika kami baru menyadari keberadaannya. Rasa putus asa itu akhirnya hilang ketika seekor ora lain menghampiri dan tidur di dekat tempat kami beristirahat. “ seumur hidup baru dua kali saya mengantar orang dan dihampiri komodo. Dan saat itu para wisatawan membayar tiket masuk”, canda mas Herman.

Kebetulan Komodo itu baru saja makan dan mencari tempat untuk tidur. “dia gak bakal gerak lagi sampe besok pagi”, kata mas herman karena itulah kami puas sekali melakukan sesi fotografi dengan binatang legendaris itu. Dan si “komo” pun mendukung dengan menggelegg-gelengkan kepala dan mengedap-ngedipkan mata nya.


yang pertama kabur yang kedua gila popularitas


Dia datang seakan tak peduli pada kami

Dan setelah puas melakukan sesi foto kami pun pulang ke desa dan bersiap-siap untuk pulang. Dan kebetulan kami pulang saat air laut mulai surut dan memperlihatkan terumbu-terumbu karang di tepi pantai yang timbul karena surut nya air laut dan beberapa penduduk yang mengumpulkan kerang untuk dijadikan Souvenir. Dalam perjalan kali ini, seperti perjalanan lainnya kami melihat banyak hal dan dengan semakin banyak kami melihat hal-hal baru, kepekaan dan sensitifitas kami makin terlatih. Dan dua hal itu lah yang membuat kami semakin mencintai Negara ini. Karena untuk mencintai Indonesia tidak mungkin tanpa mengenali. Dan unutk mengenali kita harus mengenal dari dekat masyarakat yang ada di dalamnya, bukan?


"Kami" pencari kerang





Terumbu karang yang terjebak oleh surut nya pantai



beberapa satwa lain di TNK (santapan para komodo juga)



(dua foto panorama oleh Fikri M.A)



Rocker Goat, "Rock n Roll is EVERYWHERE!

i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Senin, 08 September 2008

Selamat datang di NTT, provinsi dengan beragam bahasa




truk di pelabuhan, Bukit Pramuka

Setelah 8 jam perjalanan, kami tiba di ujung barat pulau ‘bunga’ atau biasa kita kenal dengan sebutan Flores. hari masih subuh, dan matahari pun belum muncul, tapi kami sudah punya rencana-rencana yang harus dijalankan secepat mungkin. Yang pertama mencari teman jalan, yang kedua mencari jalan alternative menuju pulau Komodo.

Kenapa kami harus mencari teman jalan (baca : pelancong asing)? Konon kabarnya, untuk mencapai pulau Komodo ada beberapa cara yang pertama adalah mengikuti program-program yang telah disediakan oleh para penyedia jasa perjalanan, atau mencari kapal sewaan yang bisa mengantar kita kesana. Dan jalan yang lain adalah jalan yang akan kami temukan kemudian.

Untuk pilihan pertama saya rasa bukan sebuah pilihan yang tepat unutk gembel2-gembel macam kami ini. Mana munkgin kami sanggup merogoh kocek hingga beberapa ratus Dollar Amerika dan tak bisa bebas memnentukan kemana kami pergi. Waktu diatur, tujuan diatur, tak cocok rasanya dengan gaya perjalanan kami.

Dermaga Labuhan Bajo

Pilihan kedua? Itu yang menjadi plan A kami karena biaya penyewaan kapal menuju pulau komodo mencapai 1,2 juta rupiah untuk menyewa satu buah kapal selama 2 hari satu malam. Di bagi berlima? Kami harus merogok kocek hingga 200-an. Karena itu kami butuh teman.

Pagi pagi benar saya sudah menyusuri jalan utama di depan (pe)Labuhan Bajo. Jalan Komodo namanya, iconic sekali bukan binatang ini?. Sekitar beberapa ratus meter dimulai dari pintu keluar pelabuhan, bejajar dengan rapi warung-warung para penyedia jasa perjalanan yang saya ceritakan tadi. Tentu saja , mereka belum membuka tokonya. Ketika itu di bagian Indonesia timur jam masih menunjukan pukul setegah lima pagi.

Sekitar jam setengah enam saya bertemu dengan beberapa orang turis dari swedia yang memiliki bahasa inggris yang terbata-bata. Ajakan saya gagal karena ternyata mereka tidak berencana ke pulau Komodo dalam waktu dekat. Sekitar 15 menit kemudian beberapa turis Belanda saya hampiri dan sekali lagi kami gagal karena mereka lebih menginginkan menggunakan jasa travel agent.

Matahari pun muncul dan bersamaan dengan itu entah kenapa kami tidak bertemu dengan satu pun pelancong asing lagi. Transportasi alternative harus ssegera didapatkan. Atau kami tidak bisa melihat Komodo. Ternyata pelabuhan tebagi menjadi 4 bagian, pelabuhan yang di gunakan unutk kapal kargo, untuk kapal ferry, untuk nelayan, dan pelabuhan untuk kapal sewaan. Dan ternyata benar! Kapal sewaan berharga kurang lebih 1,2 juta rupiah.

Pelabuhan Kapal pribadi

Saya pun teringat dengan cerita bahwa di Taman Nasional itu ada penduduk yang tinggal di dalam nya. Macam sokola rimba nya Butet itulah. Dan tentunya di dalam Taman nasional mereka tidak bisa bertani bukan? Berarti mereka memiliki transportasi tentunya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dan tentu saja lokasi paling masuk akal adalah di pelabuhan para nelayan. Dan betul akmi menemukan nya. Kata orang-orang di pelabuhan kapal biasanya datang pukul 1 siang dan berangkat esok harinya. Yah, nanti sajalah cerita mengenai kapal penduduk itu.

Yang jelas pagi itu kami habis kan waktu yang kami miliki dengan memancing. Baru kali ini saya melihat tempat memnacing yang sebegitu dekatnya dengan pelabuhan. Dengan air jernih tentunya. Padahal sejauh yang saya tau laut di sekitar pelabuhan saeharusnya kotor. Mungkin karena intensitas pelayaran di sini tidak sebesar di Jawa,a tau mungkin Ende.



memancing

Dari hasil obrolan kami ternyata dua orang yang kami ajak dari Bima karena mereka ber-kampung di flores tidak berguna. Bukan karena sifat mereka tapi tidak berguna dalam hal bahasa. Sudha hal yang lumrah bahwa ketika ketika kita bisa menawar harga dengan bahasa lokal suasana akal lebih cair dari pada kita menggunakan bahasa asing. Rasa persamaan asal daerah sering kali membantu menurunkan harga. Tapi ternyata saleh, salah satu anggota Londa berkata, “gw gak bisa bahasa orang pulo”(Sebutan unutk orang yang tidak di pulau utama flores, tetapi di kepulauan sekitar flores. termasuk Komodo) dan disusul dengan ditto yang berkata “gw gak bisa bahasa manggarai”

Usut punya usut itu semua dikarenakan di pulau ini, setiap kabupaten bahkan setiap desa(hampir) memiliki bahasa nya sendiri. Karena itu banyak sekali bahasa disini. “di Kabupaten Alor saja aja 42 bahasa”, kata bang Kampar, Pol Airut yang kemudian kami temui di Taman NAsional Komodo beberapa hari kemudian. Saya ingat di Bima Pian (Pian dari Impian, dan dia laki2 flores yang sangar. =D) pernah berkata “ di sekolah gw dulu, kalo di areal sekolah ngomong daerah kita di denda 500 perak”.

Mungkin karena itu bahasa Indonesia di sini sangat matang. Mereka bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Sedikit berbeda dengan daerah Bima dimana semuanya berbicara bahasa Bima. Sekalilagi keragaman suku di Indonesia disatukan oleh Bahasa. Satu Bahasa! Bahasa Indonesia!

BHINEKA TUNGGAL IKA!



Bulan itu bulat







i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"