Sebulan penuh sudah kami melancong mengunjungi Nusa Tenggara. Mencoba mengenal segalanya lebih dekat,bahkan mengenal teman perjalanan sendiri lebih dekat. Dan hari yang tak ingin dinanti pun harus kami temui. Pulang… haruskah? Memang berat unutk pulang, tapi kami bukan penanam pohon uang yang bisa berkelana seenak jidat kami saja tentunya. Perjalanan ini akan diakhiri dengan menumpang kapal Pelni yang bernama Tilongkabila.
Kapal ini menjadi pertemuan terakhir kami dengan segala ke-simpang-sengkarut-an (saya suka kata ini) Transportasi di Indonesia, walaupun sebetulnya kami masih menumpang truk menuju Jember dan mengendarai kereta ekonomi dari Surabaya Menuju Jakarta, tapi karena semua itu sudah saya ceritakan . Setidaknya benar bila saya katakan bahwa Kapal Laut merupakan pilihan tepat untuk mengakhiri perjalanan ini.
Kapal Tilongkabila, sama seperti kebanyakan kapal milik Pelni lainnya yang tidak hanya melayani satu tujuan saja tapi melewati beberapa pelabuhan di sepanjang Nusantara. “Kapal Nusantara” begitu saya dan Tonte menyebutnya. Karena kapal ini yang, kalau saya tidak salah, memulai perjalanan nya dari Benoa (Bali) hingga Sorong (Papua). Karena itu kami becanda bahwa kapal ini membawa misi lain selain mengantar penumpang, yaitu misi persatuan. Mempersatukan rakyat Indonesia dari berbagai daerah ke dalam satu wadah dimana mereka tidak bisa lari karena dikelilingi binatang laut karnivora dari selat Malaka hingga laut Aru.
Lemas rasanya ketika pertama kali melihat kapal itu muncul di depan mata kami. Ratusan orang yang saling bertumpukan di dek kapal ditambah lagi ratusan (atau mungkin ribuan?) orang-orang yang menunggu untuk turut menumpang kapal itu menuju Lembar atau Benoa. Setidaknya detik itu kami langsung membayangkan di kepala kami bagaimana posisi tidur kami nanti di kapal, bagaimana kondisi WC di kapal itu (setelah WC itu melacurkan dirinya pada ratusan orang di kapal itu), hingga masalha sepele antara akan berdiri atau dudukkah kita nanti.
Sesiap apapun kami dengan kegilaan yang sudah kami perkirakan sebelum berangkat pun rasanya tidak membuat rasa dag-dig dug-duer kami hilang begitu saja melihat pemandangan I depan kami. terasa seperti sinetron yang sering melebih-lebihkan dan tak bisa ditebak jalan ceritanya. Adegan pertama dari Sinetron ini adalah perebutan tahta (baca : tempat meletakan pantat dalam arti harafiah) yang dilakukan dengan beringas oleh para penumpang yang merasa berhak memiliki tahta2 itu. Dan gilanya mereka melakukan itu ketika penumpang lainnya sedang berusaha unutk turun dengan membawa oleholehuntukkampunghalaman yang berukuran tidak, sekali lagi SANGAT TIDAK ,kecil ukurannya. Belum lagi para pedagang.
Entah karena sudah terbiasa, atau kerena terpaksa, mereka dengan mudah nya melempar lempar barang-barang itu ke arah penumpang yang berusaha, memaksa tepatnya, naik sebelum waktunya. Kocar-kacir seperti kaca yang tertimpa batu dari atas, begitulah kira-kira kondisi para penumpang yang tertimpa barang-barang tersebut. Kami? menunggu sampai semuanya tenang.toh kami terbiasa untuk tidak duduk di kursi dan tidur di kasur.
Setelah sekitar tigapuluh menit kami berhasil masuk dan kami mengambil salah satu tempat kosong di luar kabin untuk meletakan barang kami, setidaknya ada angin disana. Untuk sekedari informasi, mungkin kondisis di dalam saat itu (berbeda ketika kapal berangkat dari Lembar keesokannya) tak lebih baik dari kamp penampungan non-aria yang dibuat oleh Nazi pada jaman perang dunia ke dua. Ratusan manusia betumpukan pada sebuah papansedikitempuk tanpa ventilasi yang baik, tumpukan sampah yang menggunung di tong sampah dan kamar mandi yang sudah kami duga melacurkan diri pada siapa saja yang ingin melepas hajat.
kapal itu akhirnya berangkat dan kami memasuki babak ke dua dari sinetron kami yaitu, makan malam. Dari pengeras suara kapal itu kami mendegar bahwa makan siang bagi kami, penumpang kelas ekonomi, bisa segera di ambil di pantri segera saja di otak saya terlintas loket pembagian BLT yang saya lewati tadi dalam perjalanan menuju dek kapal. Dan benar disana lah kai mengambil makan malam kami. bersama para penumpang ekonomi lainnya kami menuju ke Pantri di mana kami disana berbaris seperti videoclip “another brick in the wall” oleh Pink Floyd. Menunggu untuk mengambil jatah ransum kami. Dan ternyata menu hari itu dan juga menu, besok pagi, dan besok siang nya adalah sekitar 4 suapan nasi (ukuran tangan saya) sebuah ikan kembung kecil yang kadang sudah tak berkepala, dan sejumput sayur kubis dingin. “kayanya sih, kata yang udah pernah, enakan makan di penjara, bunuh orang yuk”, terucap begitu saja dari mulut saya. Saya sendiri tidak tahu makan di penjara seperti apa sebetulnya. Ohya, untuk makan pagi si ikam kembung merubah wujud nya menjadi seonggok telur dadar ukuran 3x5 centimeter yang mungkin komposisi nya 9:1 antara tepung dan telurnya.
Tak habis pikir saya bagaimana mereka bisa bertahan untuk hanya makan makanan seperti ini.mungkin mereka juga memilih alat transportasi ini karena mereka tak sanggup membeli tiket eksekutif kapal itu yang harganya mungkin dua hingga tiga kali lipat nya, apalagi sebuah tiket pesawat yang memiliki enam angka nol unutk satu orang dari wilayah timur Indonesia menuju Pualu lainnya. Yah, ayam goreng tepung ala kentaki pun tersedia dengan harga 10ribu rupiah di kantin begitu juga dengan kudapan dan kopi-kopian tapi mungkin itu bukan juga pilihan untuk mereka.
Babak kedua ditutup Malam ituketika kami memutuskan untuk menyeruput beberapa gelas kopi dan segera tidur dengan sedikit cipratan-cipratan air dari samping kapal.malam itu tidur kami,setidaknya say, cukup nyenyak. Tidur itu pun harus berakhir ketika kami dbangunkan oleh para petugas pembersih dan panggilan makan pagi (makan pagi? Atau lebih baik saya sebut racunseribunestapapembawaduka a la kho ping ho?).
Kamera, rolling, action! Adegan ketiga di mulai.Beberapa jam setelah makan pagi kami merapat di Pelabuhan Lembar. Semakin banyaknya penumpang yang turun di pelabuhan tak membuat kapal ini tersana lenggang. Dan sampah yang diturunkan di pelabuhan itu membuat saya kagum, karena setidaknya say abisa memperkirakan berapa jumlah penumpang dari kapal tersebut, tak kurang dari seribu kepala! Dari atas saya mempaerhatikan para petugas melempar sampah-sampah itu ke dermaga dimana sebiah truk sampah sudah menunggu dan tentunya, pemlung-pemulung kecil yang mengais sampah itu unutk sekedar tambahan uang jajan.
Rasa bosan yang berkepanjangan dan Sedikit penasaran dengan kapal ini saya kemudian berkeliling. Itu pun di pancing dengan panggilan a la bioskop 21 yang mengatakan bahwa pemutaran filmhari itu akan segera dimulai “sebuah film drama-dewasa hollywod berjudul something gotta give akan segera diputar di bioskop tilongkabila limabelas menit ke depan”. Hmm, menarik juga..tapi tenyata itu hanya satu-nya film bagus yang diputar selama perjalanan saat itu. Film selanjutnya yang menyusul adalah “hantu si jembatan ancol” dan “hantu ambulans” (ngomong-nogmong, turut berduka cita atas meninggalnya suzanna sang ratu horror pemakan melati kebanggaan Indonesia, tanggal 16 september 2009. Semoga arwahnya segera bangkit dan menjadi ahntu pertama yang di kontrak unutk bermain film dan berperan sebagai hantu. Ditunggu comeback-nya!). Dengan lima ribu rupiah anda diijinkan menonton bioskop dengan kursi a la kadarnya.
Di depan bioskop yang berkapasitas sekitar sepuluh orang itu saya melihat satu hiburan lagi berupa Playstation 2 yang disewakan dengan harga lima belasribu rupiah per jam nya, dan pastinya menjadi rebutan anak-anak di Kapal itu. Sempat terpikir untuk bermain tetapi harus diurungkan ketika saya sadar bahwa kelihatannya kurang bijak, dewasa, dan gagah bilah saya harus bertengkar, atau kemungkinan besar merampas, mainan itu dari anak-anak yang masih berumur sama dengan adik saya sendiri (6-8 tahun).
festival film horror terapung dan playstation
Perngamatan dilanjutkan dengan bertemunya saya dengan beberapa penjual arloji dan perhiasan yang mangkal di bordess (istilah kereta, entah apa namanya di kapal laut) antara kabin yang satu dan kabin yang lain. Dan untuk barang dagangan yang pasaranya sebetulnya tidak sebesar makanan dan minuman mereka terlihat cukup menikmati pasar yang mereka buat sendiri itu. Untuk yang satu ini saya tidak mengabadikannya karena panasnya suhu ruangan itu karena minimnya ventilasi yang berpengaruh pada mudahnya putusnya urat sabar seseorang. Dan saya, entah kenapa, sedang malas untuk bersenda-gurau seperti biasa untuk lebih mengenal mereka. Mungkin sedikit anti klimaks dari perjalanan ini. Tentunya kemalasan ini saya sesali kemudia di Jakarta.
Tak lama kemudian saya melihat seorang ABK yang sedang marah kepada seorang penumpang yang ternyata membawa ayam hidup di dalam karung dan diletakan di dalam kapal, bukan pada bagian dek. Yang menyebabkan bau yang……..yah, kalian pasti tahu lah.
Lelah berjalan-jalan dan jam menunjukan pukul dua belas siang, yang berarti sebentar lagi kami akan merapat di Benoa. Setelah melewati perjalanan yang tak kalah panjangnya menuju gilimanuk. Menumpang truk dengan - bayaran sebungkus rokok - menuju Jember -untuk mencicipi martabak terang bulan Jember yang harus bersaing dengan terang bulan londo (Pizza HUT yang baru dibuka di Jember)-. Dan tak boleh dilupakan kericuhan selama delapan belas jam di dalam kuda besi “gaya baru malam selatan”.
Akhirnya savana terik dan langit biru sumbawa; lumba-lumba yang berlompatan di Flores; dan sawah-sawah hijau di jawa timur, tengah, dan barat yang biasa kami lihat di jendela , yang kadang tanpa kaca, kendaraan tumpangan kami harus bertransformasi menjadi onggokan sampah di samping gedung beton, perumahan di pinggir rel, kemacetan penuh makian dan pastinya langit abu-abu khas Ibukota. Berakhirnya sbeuah perjalanan seringkali membuat kami lemas karena harus menghadapi rutinitas-rutinitas seperti biasanya lagi. Tetapi mengutip Steven Tyler dalam lagunya Amazing yang mengatakan “life is a journey, not a destination”, kita bisa berpretensi pada diri kita sendiri untuk tetap menjalani sebuah perjalanan lainnya, perjalanan kehidupan. Segala yang kami dapat dari perjalanan ini tentunya sangat berpengaruh pada perkembangan hidup kami setelahnya.
SAMPAI JUMPA PADA PERJALANAN BERIKUTNYA
VIVA LA VIE BOHEME!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar