Ini adalah Ludovic dan Hilda. Salah dua dari beberapa pelancong asing yang kami temui dalam perjalanan kemarin. Kami bertemu di ferry dalam perjalanan pulang menuju pulau Sumbawa. Sebetulnya saya berkenalan dengan doug, yang berasal dari Amerika Serikat, (maaf tak ada foto tersedia) dan karena secara kebetulan saya dan Doug memiliki hobi yang sama (*ngoceh/cerita ngalor ngidul) kami kemudian bercerita tentang banyak hal. Sebagian besar tentang perjalanan, sisanya tentang kehidupan (yang sebagian besat diisi dengan perjalanan).
Kemudian kami berkenalan juga dengan Andy yang berasal dari Inggris. Dalam percakapan kami setidaknya bias saya asumsikan mereka cukup terkagum-kagum dengan cara kami bertualang dan kenapa (setidaknya saya) berpetualang. Bagiamana kami tidak mengeluarkan uang sepeser pun uantuk akomodasi sepanjang perjalanan ini. Bagaimana kami menumpang dari satu Universitas ke Universitas lainnya, Bagaimana persaudaraan antar pencinta alam menyediakan atap dan karpet untuk kami, bagaimana musholla dan kantor polisi bias saja menjadi tempah berteduh kami. belum lagi cerita-cerita mengenai transportasi di Indonesia yang sepertinya cukup simpang sengkarut. Cerita mengenai menumpang truk dan kereta ekonomi, dan tak boleh dilupakan cakung cilincing ala Sumbawa.
Kita , sebagai manusia, selalu saja merasa tidak puas. Mereka iri dengan betapa muda dan bersemangatnya kami. dan kami pun iri betapa menyenangkannya mereka bekerja selama sepuluh bulan untuk dua bulan liburan keliling dunia, setiap tahunnya. Tapi setidaknya kami mensyukuri kami masih bias dan mau menyisihkan waktu kami unutk hal-hal seperti ini. Kami bersyukru kami masih bisa menikmati indahnya kekayaan Indonesia.
Kepribadian baru lagi! Doug adalah warganegara AS yang menjual segala miliknya dan tinggal di
Selanjutnya saya mengajak Doug untuk ngopi-ngopi di buritan(bagian belakang kapal) karena barang-barang kami disana. Dan pada saat itulah ia kaget ketika kami mengeluarkan kompor Trangia yang dibawa oleh tonte. Ya dia mengatakan unutk para gembel yang tak mengeluarkan sepeser pun uang untuk menginap di kantor polisi, musholla, dan pencinta alam terdekat kami memiliki peralatan perjalanan yang cukup bagus. Hal yang sama yang disampaikan ludovic di atas bis kemudian ketika melihat kamera saya, yang notabene lebih bagus dari kamera miliknya. Pertanyaan pun timbul dari mereka, kenapa kami membuat perjalanan kami “sulit”, walaupun mereka pun mengakui bahwa cerita kami menarik, sedangkan di lain sisi kami memiliki uang yang dapat kami sisihkan untuk membeli peralatan perjalanan yang sebenarnya tidak juga murah.
Jawaban kami?, “karena kami mau…” pertama, membuat sebuah perjalanan menjadi lux tidaklah sulit kereta eksekutif atau bisnis?, hotel?, membayar untuk masuk ke Pulau Komodo? Beberapa kal tersebut mungkin hanya harus di kompensasi biaya yang membengkak. Mungkin ini bisa saja kami lakukan, tetapi rasanya akan ada yang hilang dari tujuan perjalanan ini. Tujuan pertama yang tak lain adalah keinginan kami untuk melihat
Dan melihat tentunya bukan hanya hanya dilakukan dengan mata. Tetapi juga hati. Melihat bagaimana mereka hidup sehari-harinya, kesulitan apa yang mereka alami, kebiasaan-kebiasaan yang berbeda pada setiap daerah yang ada di Indonesia setidaknya membuat kami selangkah lebih maju unutk mengenal Indonesia, dan masih ada ratusan, bahkan ribuan langkah lagi yang menunggu di depan.
Dengan “mengenal” mereka, dapat menumbuhkan rasa cinta kami.Tidak hanya kepada masyarakat secara langsung. Tetapi kepada negeri kita sendiri. Di antara semua kaegaduhan yang ada di negeri ini, setidaknya untuk kami, masih ada alasan untuk tetap mencintai negara ini. Madu yang diambil dengan pertaruhan nyawa, Laut yang biru dengan ikan segar berkeliaran disekitar kita, delapan buah matahari yang menusuk kulit, naga pra-sejarah, menjadi alasan-alasan kenapa kami tetap dan semaki mencintai negara ini. Dan pastinya, tak semua hal dapat dibayar dengan uang, seperti keramahan penduduk yang dengan tulus melayani kami dengan “several simple things of kindness” yang membuat kami nyaman selama perjalanan. Gurihnya nasi yang disajikan hanya sambal dan sepotong kecil ikan asin, atap untuk berteduh, kapal penyelamat, menonton sinetron Indonesia abal-abal dan membaca koran setelah beberapa minggu tidak bersentuhan dengan mereka, tumpangan truk dari satu tempat menuju ke tempat lainnya, jambu biji gratis yang boleh kami petik langsung dari kebunnya, dan tak boleh dilupakan kasur untuk tidur di Pulau Komodo (satu-satunya kasur selama perjalanan yang justru kami dapatkan di desa paling jauh dari perjalanan yang kami kunjungi). Hal-hal tersebut hanyalah sebagian dari pengalaman berharga yang mungkin tidak bisa kami beli dengan uang. Pengalaman yang, tak pernah bosan-bosannya saya ucapkan, menambah rasa inta kami kepada negeri ini.
Ini mungkin baru awal dari perjalanan kami untuk semakin mengenali
JAYA
1 komentar:
oya, Makasih uddah MngunjuNgi kota Saya...
Tapi Msh Adda jutaan haL yg BLm Anda kUNJUNGI.
sPERTi : Memerah Lngsung Susu Kuda Liar,mmburu mENJangan,panen di Kebun Jagung,mmancing iKan-ikan Segar di Laut, dll.
hehehehehhehheheheh
makasiiii
Posting Komentar