Senin, 08 September 2008

Menuju Flores, dan Sebuah kegilaan transportasi (lagi)




Babi-babi masih menunggu kapal menuju pulau Sumba, yang sedang menunggu kapal kami angkat jangkar….

Hari ini kami berangkat menuju Flores.menuju pulau yang dalam bahasa protugis berarti bunga. Pulau yang salah satu nya dikenal karena naga raksasa nya alias komodo. Sudah sejauh ini , rasanya kurang afdol jika kita tidak sekalian menyambangi pulau legendaris itu. Kalo distilah kan “yahhh,, tinggal selemparang kolor lah…,tanggung!” .

Hari itu bulan hampir purnama (ya, saya lupa tanggal berapa, dan bulatan putih dilangit itu yang selalu jadi patokan unTUk kami). Dari kota Bima kami menuju pelabuhan Sape yang berada di ujung pulau Sumbawa. Sebuah kota pelabuhan kecil yang diramaikan oleh para “commuters” yang ingin pulang ke rumah mereka di pulau seberang, entah itu flores atau Sumba.

Untuk kesekian kali nya kami mengendarai ferry lagi, kapal penyebrangan dari pulau Sumbawa menuju flores. Disambut oleh pedagang dan pemilik kendaraan umum yang saling berebutan pelanggan, kami tiba di pelabuhan sape. Dan serupa dengan semua pusat transportasi lainnya di Indonesia. Ramainya pengguna sarana transportasi dan minimnya jumlah dan jenis transportasi yang di dukung dengan sulitnya akses menuju daerah itu (panjang ya kalimatnya) kembali menjadi pemandangan di situ. Hanya kali ini tampilan fisik dari kendaraan yang kami naiki itu terlihat kinclong. Tidak seperti kendaraa “hidup segan mati pun tak mau” yang biasa kami kendarai.


Kapal ferry milik ASDP itu secara fisik bisa dikatakan oke, tetapi tetap saja masih ada pemandangan kardus-kardus indomie yang bertumpuk dengan kaki berselonjor ke atas nya, masih ada beberapa orang yang mencuri-curi naik kapal itu tanpa membayar, masih ada sampah-sampah teronggok di sudut-seudut dek walaupun di sudut itu pula berdiri dengan tidak gagah nya sebuah tong sampah.

kadang terpikir oleh saya “apa lagi yang kurang?. Saat pelayanan dari Negara buruk, para ahlidan kritikus menggunakan wong cilik untuk menyinggung pemerintah. Tapi pada saat ada perbaikan dari segi kualitas, toh para kritikus itu tidak bisa membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan destruktif terhadap properti milik umum.

Nikmati sajalah perjalanan ini. Delapan jam kami tempuh menuju flores. Anak-anak masih bermain di lokasi bermain yang disediakan oleh ASDP untuk membunuh sedikit waktu karena anak-anak biasanya mudah bosan. Di bagian bawah kapal (lambung kalau saya tidak salah dalam istilah perkapalan) barang barang dalam karung goni teronggok di pojokan-pojokan. Para pemilik barang lebih memilih untuk memuat hanya barang, tanpa truk, dan menyewa truk lagi di tempat tujuan, lebih murah.



i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Tidak ada komentar: