Setelah 8 jam perjalanan, kami tiba di ujung barat pulau ‘bunga’ atau biasa kita kenal dengan sebutan Flores. hari masih subuh, dan matahari pun belum muncul, tapi kami sudah punya rencana-rencana yang harus dijalankan secepat mungkin. Yang pertama mencari teman jalan, yang kedua mencari jalan alternative menuju pulau Komodo.
Kenapa kami harus mencari teman jalan (baca : pelancong asing)? Konon kabarnya, untuk mencapai pulau Komodo ada beberapa cara yang pertama adalah mengikuti program-program yang telah disediakan oleh para penyedia jasa perjalanan, atau mencari kapal sewaan yang bisa mengantar kita kesana. Dan jalan yang lain adalah jalan yang akan kami temukan kemudian.
Untuk pilihan pertama saya rasa bukan sebuah pilihan yang tepat unutk gembel2-gembel macam kami ini. Mana munkgin kami sanggup merogoh kocek hingga beberapa ratus Dollar Amerika dan tak bisa bebas memnentukan kemana kami pergi. Waktu diatur, tujuan diatur, tak cocok rasanya dengan gaya perjalanan kami.
Dermaga Labuhan Bajo
Pilihan kedua? Itu yang menjadi plan A kami karena biaya penyewaan kapal menuju pulau komodo mencapai 1,2 juta rupiah untuk menyewa satu buah kapal selama 2 hari satu malam. Di bagi berlima? Kami harus merogok kocek hingga 200-an. Karena itu kami butuh teman.
Pagi pagi benar saya sudah menyusuri jalan utama di depan (pe)Labuhan Bajo. Jalan Komodo namanya, iconic sekali bukan binatang ini?. Sekitar beberapa ratus meter dimulai dari pintu keluar pelabuhan, bejajar dengan rapi warung-warung para penyedia jasa perjalanan yang saya ceritakan tadi. Tentu saja , mereka belum membuka tokonya. Ketika itu di bagian Indonesia timur jam masih menunjukan pukul setegah lima pagi.
Sekitar jam setengah enam saya bertemu dengan beberapa orang turis dari swedia yang memiliki bahasa inggris yang terbata-bata. Ajakan saya gagal karena ternyata mereka tidak berencana ke pulau Komodo dalam waktu dekat. Sekitar 15 menit kemudian beberapa turis Belanda saya hampiri dan sekali lagi kami gagal karena mereka lebih menginginkan menggunakan jasa travel agent.
Matahari pun muncul dan bersamaan dengan itu entah kenapa kami tidak bertemu dengan satu pun pelancong asing lagi. Transportasi alternative harus ssegera didapatkan. Atau kami tidak bisa melihat Komodo. Ternyata pelabuhan tebagi menjadi 4 bagian, pelabuhan yang di gunakan unutk kapal kargo, untuk kapal ferry, untuk nelayan, dan pelabuhan untuk kapal sewaan. Dan ternyata benar! Kapal sewaan berharga kurang lebih 1,2 juta rupiah.
Pelabuhan Kapal pribadi
Saya pun teringat dengan cerita bahwa di Taman Nasional itu ada penduduk yang tinggal di dalam nya. Macam sokola rimba nya Butet itulah. Dan tentunya di dalam Taman nasional mereka tidak bisa bertani bukan? Berarti mereka memiliki transportasi tentunya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dan tentu saja lokasi paling masuk akal adalah di pelabuhan para nelayan. Dan betul akmi menemukan nya. Kata orang-orang di pelabuhan kapal biasanya datang pukul 1 siang dan berangkat esok harinya. Yah, nanti sajalah cerita mengenai kapal penduduk itu.
Yang jelas pagi itu kami habis kan waktu yang kami miliki dengan memancing. Baru kali ini saya melihat tempat memnacing yang sebegitu dekatnya dengan pelabuhan. Dengan air jernih tentunya. Padahal sejauh yang saya tau laut di sekitar pelabuhan saeharusnya kotor. Mungkin karena intensitas pelayaran di sini tidak sebesar di Jawa,a tau mungkin Ende.
memancing
Dari hasil obrolan kami ternyata dua orang yang kami ajak dari Bima karena mereka ber-kampung di flores tidak berguna. Bukan karena sifat mereka tapi tidak berguna dalam hal bahasa. Sudha hal yang lumrah bahwa ketika ketika kita bisa menawar harga dengan bahasa lokal suasana akal lebih cair dari pada kita menggunakan bahasa asing. Rasa persamaan asal daerah sering kali membantu menurunkan harga. Tapi ternyata saleh, salah satu anggota Londa berkata, “gw gak bisa bahasa orang pulo”(Sebutan unutk orang yang tidak di pulau utama flores, tetapi di kepulauan sekitar flores. termasuk Komodo) dan disusul dengan ditto yang berkata “gw gak bisa bahasa manggarai”
Usut punya usut itu semua dikarenakan di pulau ini, setiap kabupaten bahkan setiap desa(hampir) memiliki bahasa nya sendiri. Karena itu banyak sekali bahasa disini. “di Kabupaten Alor saja aja 42 bahasa”, kata bang Kampar, Pol Airut yang kemudian kami temui di Taman NAsional Komodo beberapa hari kemudian. Saya ingat di Bima Pian (Pian dari Impian, dan dia laki2 flores yang sangar. =D) pernah berkata “ di sekolah gw dulu, kalo di areal sekolah ngomong daerah kita di denda 500 perak”.
Mungkin karena itu bahasa Indonesia di sini sangat matang. Mereka bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Sedikit berbeda dengan daerah Bima dimana semuanya berbicara bahasa Bima. Sekalilagi keragaman suku di Indonesia disatukan oleh Bahasa. Satu Bahasa! Bahasa Indonesia!
BHINEKA TUNGGAL IKA!
i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar