Minggu, 24 Agustus 2008

Gunung orang-orang yang hilang...



"Mendaki gunung saja kau!, kuliah ngga kerja ngga...!!" yaahh, mungkin bukan cuma sekali saya dan kawan-kawan sejawat saya mendengar kata-kata seperti ini. Begitu pula ketika kami merekncanakan untuk menrambah dambil menjamah Pulau Sumbawa. "ngapain sih lo pergi jauh-jauh?, mending bikin Skripsi" mungkin tidak sepenuhnya salah, toh tapi kami tetap berangkat. Dan berulang kali saya mencoba menjelaskan pada mereka unutk tidak hanya melihat sebatas "Naik Gunung" -nya saja. Ada alasan yang lebih besar daripada ini. "gw ga mau kawin sebelum keliling Indonesia", kata Tonte. yah, itu hanya salah satu alasan. bagi saya, kenapa saya senang berpergian hanya karena saya ingin melihat Indonesia. saya Ingin lebih mencintai. (seperti kata Gie yang saya tuliskan di dalam posting pertama "mengenali tidak mungkin tanpa mengenali")

Bagi saya, Gunung itu sendiri hanya tambahan, keseluruhan perjalanan itu lah yang saya perhatikan, bukan sekedar gunung nya, kalaupun boleh saya diijinkan hanya tinggal di desa, bagi saya pun tidak masalah. Dan kali ini, Gunung Tambora laha yang menjadi bagian dari perjalanan kami. "Tambora", gunung yang begitu terkenal di dunia ini mungkin buan salah satu yang tertinggi, tapi justru cerita di balik rendahnya gunung inilah yang membuat temapt ini begitu menarik. Katanya Gunung ini dulu setinggi 4000mdpl, namun letusan pada tahun 1815 emmeapas gunung ini hingga hanya mencapai ketinggian 2700-an mdpl. Tambora sendiri berasal dari kata Ta
yang artinya "orang", dan Mbora yang artinya "Hilang". Dengan kata lain, gunung ini diberi nama unutk mengingat orang-orang, atau bisa kita katakan sebagai kerajaan yang hilang.

Letusan gunung ini yang diyakini yang terbesar di Dunia mengalahkan Krakatau yang sebelumnya diyakini sebagai letusan terdahsyat di dunia. Mmembinasakan banyak nyawa, menghabisi banyak flora dan fauna, dan menciptakan perubahan iklim yang dahsyat di bumi ini. dan itu semua terjadi di Indonesia sekitar tahun 1815. betapa besarnya kontribusi Indonesia pada perubahan iklim di dunia ini bukan?. selain itu, badan Vulkanologi indonesia yang berpusat di Jakarta meyakini danau air asin Pulau Sataonda pun ( tungggu tulisan tentang sataonda, setelah ini pastinya) disebabkan oleh letusan Tambora.

Gunung ini pun tidak setenar gunung-gunung lain di Indonesia yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi (sebut saja Gunung Raung(3,332mdpl) di Jawa Timur, Gunung Leuser (3,040mdpl) di Nanggroe Aceh Darussalam, atau Cartensz Pyramid (4,884 mdpl) di Papua. tapi toh Gunung ini memiliki cerita nya tersendiri yang tidak kalah menakjubkannya.

hari itu kami berangkat pukul tujuh pagi. dengan gaya turis yang agak malas-malasan untuk naik gunung. Sebelumnya saya perlu mengakui bahaw terakhir kali saya jogging, adalah 2 tahun yang lalu.. terakhir kali saya mendaki gunung? satu tahun yang lalu.... untung saja, sebagai sebuah gunung tingkat kebutuhan fisik tidak terlalu tinggi disini, menurut saya,karena jalur yang terdapat di gunung ini cukup landai. sekali lagi, dan tidak akan pernah lelah saya ucapkan. betapa beruntungnya saya menjadi orang yang ditinggal di Ibukota.

pada pendakian kali ini kami ditemani oleh lima orang anggota Mapala "Londa", salah satu Pencinta alam tertua di Bima. Toh ini lah kenyataan yang harus yang lihat, terima, dan bagi ke anda semua. Disini,di Ibukota, sering kali kita berkejar-kejaran untu mendapatkan sesuatu hanya untuk mengejar gengsi, bukan fungsi. Beberapa berebut untuk memiliki I-phone, dan baju dengan tulisan MNG di dadanya. yang lain berburu Jaket Jack Wolfskin yang cocok digunakan di Siberia, hanya untuk naik motor. kadang-kadang kita lupa bahwa di belahan lain negara ini mereka berjuang tanpa kompor, dan tanpa senter dengan lampu LED unutk mendaki gunung.Alat-alat yang sering kali menjadi harga mati bagi kita sebelum mendaki. Toh keadaan juga yang memaksa mereka unutk bertahan seperti teori "Survival of the fittest" jika mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan segala keterbatasan yang ada mungkin mereka akan berhenti dan mencari hobi yang lain.



Toh hobi itu pun tetap mereka lakoni.betapa unik melihat bagaimana mereka mendaki gunung. Kami yang dididik dengan gaya manajemen Mapala UI tentu saja memiliki cara berpikir yang mengatakan bahwa "naik gunung sudah susah, jadi harus dibikin senyaman munngkin" kalau perlu durian pun kami bawa ke puncak gunung. Tapi ternyata mungkin taktik itu kurang cocok di praktek-kan di Tambora. Kami harus jungkir balik membawa air dan logistik, yang kemudian kami ketahui bahwa semua pos peristirahatan yang di buat di Tambora melalui jalur Desa Pancasila ini berdekatan dengan jalur air. sepertinya memang jika kita sedang berada di roma kita harus bertingkah laku seperti orang romawi.

untuk sekedar informasi perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 2/3 hari itu kami jalani selama 4 hari. yah, antara lemah fisik dan mental turis yang kami usung dari Jakarta. Hari pertama perjalanan kami diwarnai dengan rimbunnya hutan yang masih cukup "perawan". cukup terlihat mungkin jumlah pendaki gunung tambora selama satu tahun lebih sedikit dari jumlah rem pakem(remaja pencinta kemping) yang mendaki gunung Gede dan Pangranggo setiap akhir pekan selama satu bulan. perjalanan hari itu berhenti pada pukul tiga sore ketika kami mencapai pos peristirahatan kedua. "biasanya kami beristirahat langsung di pos tiga.",kata gepeng, salah satu anggota Mapala Londa. tapi kami malas. "ya sudahlah,ini kan holiday....., masa jalan nya kaya lagi ekspedisi aja", itulah kalimat pembenaran yang kami ucapkan setiap kali anggota Londa gerah dengan kemalasan kami.



z

Hutan Lebat- hutan yang masih "perawan" menghiasi jalur perjalanan
menuju puncak gunung Tambora.

Begitu pula perjalanan selanjutnya menuju pos tiga dimana kita harus beristirahat sebelum "serangan fajar" menuju puncak keesokan harinya. Lagi-lagi saya dikejutkan dengan kelakuan anak-anak Londa yang membuat perangkapa ayam untuk. ini hanya satu dari sekian banyak kejutan yang sudah mereka buat. Dari minimnya peralatan keamanan mendaki, kompor yang posisinya digantikan dengan kayu bakar, senter berwarna perak yang pasti sering seklai kita lihat pada era akhir 80-an hingga awal 90-an.

mereka membuat nasi, kami memasak lauk. karena itulah keahlian kami, memasak dan mengorganisir. setidaknya saya masih bisa membanggakan Spaghetti buatan saya yang dipuji semua penyantapnya..



Perangkap Ayam , Makan Siang, Suasana POs 3

pagi-pagi benar, kami bersiap menuju ke Kawah dan Puncak Tambora. perjalanan kami mulai pukul 12 malam, dan berharap kami dapat mengejar matahari terbit pada pukul setengah enam nanti. kira-kira perjalanan bisa kita bagi dalam dua bagian, yaitu daerah budidaya Jelatang, dan daerah setelah batas vegetasi.

yang pertama kami lalui adalah daerah budidaya jelatang. mungkin sebenarnya kurang tepat jika saya sebut sebagai daerah budidaya. hanya karena jumlahnya yang menurut saya tidak wajar itu lah kami kemudian bercanda dan menyebut zona itu sebagai zona budidaya jelatang. apa itu jelatang? mungkin tidak semua orang tahu apa itu jelatang. bagi mereka yang sering melakukan pendakian pasti tidak lagi asing dengan tumbuhan ini. (saya lupa nama latinnya) tapi tumbuhan ini memiliki baik duri-duri halus dan duri-duri kasar yang bila sedikit saja menyenggol kulit kita rasanya lebih baik pindah agama saja.


Daerah budidaya Jelatang, foto ini diambil pada pagi hari sepulan dari puncak.

Dan sesuatu yang sudah saya duga terjadi. hobi memakai celana pendek ketika mendaki gunung menjadi buah simalakama bagi saya. habis sudah sekujur paha, betis di gerayangi Jelatang. kenapa saya tidak menghindar? pertanyaan bagus! bagaimana kiranya saya bisa menghindar, jika mereka tidak hanya ada di kiri dan kanan jalur. Tetapi juga ada di atas kepala, bahkan Dimana kita menjejak? belum lagi mereka yang mulai tumbuh tepat di depan mata kami. jangan Lupa kami mendaki saat hanya sinar senter menyinari perjalanan kami.

sekitar 20 menit dari batas vegetasi kami di paksa behenti oleh alam. Angin kencang menghambat perjalanan kami dan membiarkan kami duduk termangu tanpa bisa melihat matahari tebit di balik kawah. toh akhirnya kami berhasil ,emcapai bibir kawah sekitar pukul 6 pagi. akhirnya berhasil juga saya melihat kawah yang diyakini sebagai salah satu yang terbesar di Dunia. setelah ini bebrapa dari kamu melanjutkan perjalanan ke Puncak yang kira-kira berjarak hanya satu jam perjalanan pulang pergi. semua berangkat kecuali saya sendirir, tonte, dan iwan.


Menghangatkan diri sebelum serangan fajar, Cemara teakhir BAtas Vegetasi


Sepulang dari sana, banyak yang bertanya kenapa saya tidak pergi ke Puncak. saya hanya jawab "malas". Sebetulnya itu hanya jawaban mudah nya. kira-kira begini jawaban mudah nya. seperti yang telah saya ungkapkan di beberapa post sebelumnya sebuah perjalanan itu harus dikategorikan sebagai journey dan bukan hanya dilhat dari sisi destination. Pemandangan? bagi saya mungkin tak perlu ke Puncak,toh pemangandan di bibir kawah pun sama Indahnya dan sama objeknya. Prestise puncak gunung? Sudah lama saya buang itu jauh-jauh. saya pemalas? mungkin ini jawabannya.

Setidaknya saya merasa apa yang ingin saya dapatkan . Interaksi antar kami itulah yang saya cari. Ada satu hal yang Lucu. Saya ada lah orang yang cukup tergila-gila dengan Alkohol dan Mendaki gunung dan bukan kmbinasi antara kedua nya. mengapa? karena saat seeorang melakukan salah satu dari kegiatan itu mereka hampir bisa dipastikan berubah menjadi orang paling jujur yang pernah ada.


Bibir Kawah

Pulang dari puncak, Kawah Tambora

interaksi antara pencinta alam ibukota yang dibuai oleh peralatan-peralatan canggih dan pencinta alam daerah yang tetap "ganas" tanpa baju berbahan gore-tex. bagaimana kami kagum dengan nasi Pulen yang dibuat di atas kayu bakar (ya, kami pun bisa membuat nasi pulen. tapi dengan bantuan Trangia dan Coleman pastinya). bagaimana mereka kagum dengan barang bawaan kami yang mengada-ada. Bagaimana kami terkagum-kagum dengan cara mereka mendaki tanpa menggunakan Peta,karena tak ada lantor cabang Bakosurtanal di Sumbawa. dan bagaimana mereka terkagum-kagum dengan menu ala Hotel bintang Lima yang kami sajikan setiap makan.
dan Bagaimana kami semua menikmati perjalanan ini.


nasi pun tetap pulen


VIVA LA VIE BOHEME!

i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine-
"entepreneur's Credo"

2 komentar:

winæsthetica mengatakan...

Saya ada lah orang yang cukup tergila-gila dengan Alkohol dan Mendaki gunung dan bukan kmbinasi antara kedua nya. mengapa? karena saat seeorang melakukan salah satu dari kegiatan itu mereka hampir bisa dipastikan berubah menjadi orang paling jujur yang pernah ada.

emang kenapa kalo jadi orang yang paling jujur? salah kah? :p

anyhoo, salut atas blognya!

Seto "awo" Wardhana mengatakan...

maksudnya.... saat lo lagi melakukan salah satu nya... lo bisa jadi orang yang paling jujur.....

jadi intinya...
ga ada yang salah dengan jadi orang jujur..