Sabtu, 23 Agustus 2008

Intermezzo (1) : filosofi si keledai

Coba, mari kita beristirahat sejenak dari cerita perjalanan dan dengar kan sdikit renungan yang saya buat ini... bukan barang baru karena sudah pernah saya posting.... bukan pemikian baru pula mungkin... tapi saya tidak menjiplak pastinya..

sudah beberapa orang bertanya kenapa keledai? dan kenapa jenius?
yaaahhh... begini ceritanya....

sebodoh keledai” ungkapan itulah yang sering di berikan kepada mereka yang dianggap bodoh, tidak bisa di ajar, atau sering mengulan-ulang kesalahan yang sama. Sejak kita muda pun, dalam berbagai cerita, seringkali kita melihat bahwa karakter keldai digambarkan sebagi binatang yang bodoh, bahkan terkesan tolol.

Banyak jawaban yang bisa saya dapatkan dari pertanyaan “pandaikah keledai?”. Dan seperti dugaan saya mereka yang mendapatkan pertanyaan ini mayoritas menjawab “tidak”. Ada jawaban yang menjawab secara ilmiah bahwa memang IQ keledai lebih rendah dibanding binatang (mamalia) lainnya. Ada juga yang menjawab bahwa mereka tidak pandai karena mereka tidak pernah mau menuruti perkataan manusia yang notabene adalah tuannya., ada pula yang memberi jawaban bahwa “hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama 2 kali”


pertama,
Memang, katanya hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama 2 kali.. tapi, apakah jatuh untuk kedua kali nya itu adalah parameter untuk mengukur tingkat kepandaian? Sayapun kurang tahu, sama seperti jawaban dari beberapa responden yang mengatakan “ saya belum pernah bercengkrama dengan keledai” dan saya tidak juga mengerti jalan pikir seekor keledai, namun sisi lain dari kebodohan inilah yang ingin saya lihat.

Mungkin keledai memang bodoh, mungkin juga ia tidak pandai, tapi mungkin ia adalah salah satu dari sedikit binatang yang cukup cerdas.banyak orang yang berpikir bahwa binatang yang pintar adalah binatang yang dapat mengikuti ajaran manusia, memberi kontribusi pada kehidupan manusia, terlebih lagi binatang yang dianggap pintar adalah merak yang dapat dengan mudah disuruh dan diperintah. Namun keledai tidak melakukannya, dengan segala “handicap” yang dimiliknya (kapasitas otak yang tidak sebesar binatang lain,lambat, dll) ia tetepa menjadi binatang yang memiliki kemauan dan keinginan untuk bertindak unutk dirinya sendiri dan berdiri sendiri untuk melakukan apa yang ia yakini.

Di saat sang ‘raja hutan’ tunduk dihadapan cambuk pawangnya dan ketika gajah menukar keperkasaannya sebagai mamalia darat terbesar dengan berdiri di atas bola di arena sirkus. Keledailah yang tetap berjalan lambat walau cambukan sang kusir menyayat punggungnya, dan berbelok ke kiri ketika tuannya memerintahkannya untuk berbelok ke kanan.

Bisa jadi, kata yang cocok untuk menggambarkan keledai adalah,setidaknya menurut saya, adalah “persistent”. Mereka tekun, keras hati –walau mungkin kadang menjadi egois, dan APATIS- dan yang pasti ia tidak mau dikuasai oleh makhluk lain (dalam hal ini manusia), walaupun mungkin mereka juga menyadari segala ‘handicap’ yang mereka miliki. Mereka tetap menyakini apa yang ia percayai walaupun terkadang mereka berjalang menyimpangi atau bahkan melawan arus utama. Mereka berani tampil berbeda dengan berjalan di luar pakem yang ada. Di saat binatang lain mencari ‘security’ atau rasa aman. Mereka lebih memilih untuk bebas berekspresi walaupun harus dibayar mahal dengan pukulan, cambukan, bahkan cemoohan. “they won’t bend to any threat and it’s their right to be umncommon.

Kedua,
Bagaimana dengan jatuh di lubang yang sama 2 kali? Benarkah hal ini dapat menjadi parameter kebodohan? Bila iya, seharusnya “cap keledai” harus diberikan kepada NASA yang nekat melepas Apollo11 ke bulan setelah gagal dalam beberapa kali percobaan. Kebetulan sejarah mengatakan bahwa Apollo11 berhasil mendarat di bulan. Bagaimana bila isi ini gagal? Akankah NASA mendapat ‘cap keledai’? (tunggu2....... dengan catatan mereka BENAR-BENAR KE BULAN YA...)

Begitu pula ketika Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay mencoba menacpai punak Everest walau mereka pun mengetahui bahwa Sir George Mallory telah lebih dahulu kehilangan nyawanya di pucak tertinggi di dunia ini? Sekali lagi, sejarah mengatakan ke 2 orang inilah summiter pertama Everest. Bagaimana bila mereka gagal seperti hal nya Mallory? Keledaikah mereka?

Mungkin bagi kita , manusia, lubang tersebut mudah saja kita lalui, dan bodoh apabila kita jatuh di lubang itu. Namun tidak bagi keledai. Bulan maupun puncak Everest pun awalnya hanya dianggap sebagi mimpibelak yang tidak mungkin. “To take the calculated risk, To dream and to build. To failed and to succeed.” Bukankah hampir Semua hal harus diawali dari mimpi? Mungkin , mereka pun tahu ada jalan unutk memutari lubang itu namun toh mereka tetap keras hati mengahadapi dan menari jalan unutk melewati lubang itu dari depan dengan tegar walaupun gagal berulang kali. Kita mungkin hanya melihatnya sebagai pengulangan yang bodoh, tapi siapa yang tahu bahwa setiap mereka jatuh ke lubang tersebut mereka jatuh dengan cara yang berbeda-beda?. Mereka tertantang dan berani mencoba apa yang makhluk lain tidak mau atau tidak berani melakukannya walau kadang esiko nya terlalu besar. Bagaimana mereka berhasil? Akankah cap bodoh yang melekat pada mereka dile[pas dan diganti menjadi Pahlawan seperti halnya Armstrong atau Hillary?

Atau mungkin juga mereka tidak cerdas, tidak juga bodoh, namun ini hanya masalah nasib sial yang selalu menimpa mereka sehingga mereka selalu jatuh di lubang yang sama?

Jadi? Bodohkah keledai? Saya tidak bisa menjawabnya karena sudah saya ungkapkan bahwa saya tidak mengerti jalan pikir seekor keldai.. tulisan ini hanya mencoba mencari sisi lain dari apa yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai suatu kebodohan. Bisa jadi mereka memang bodoh, atau memang mereka lebih cerdas dari yang lainnya, atau mereka hanya bernasib sial. Anda yang menentukan.
i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

1 komentar:

shepty dwi mawardi mengatakan...

keren tulisannya...