Kamis, 28 Agustus 2008

Ramahnya penduduk Indonesia!









Selesai juga akhirnya pendakian Tambora. Malam itu kami beristirahat untuk memulihkan tenaga yang akan kami butuhkan pada perjalanan berikutnya. Dalam perjalanan turun kami bertemu dengan Om Beck, pemilik rumah singgah kami dan merupakan salah satu dari guide pertama gunung Tambora di desa Pancasila. Saat itu ia sedang mengantar seorang pendaki dari Jakarta, Benny, yang sedang menikmati liburannya di sela pekerjaannya sebagai bartender di kapal Pesiar (saya lupa nama kapal nya)

Malam itu kami disuguhi makanan ala kadarnya oleh istri om Beck, Nasi dan Ikan asin. Itupun satu ekor ikan asin untuk satu orang. Tersiksa? Tidak juga. Kami merasakan hospitality yang luar biasa di sini (sekedar catatan, ini hanya lah awal dari keramahan luar biasa yang saya dan tim dapatkan selama perjalanan), betapa ramahnya orang Indonesia.

Esoknya (kalau tidak salah tanggal 7 Juli), kami tidak membuang-buang waktu. Setelah berkemas dan memberikan sejumlah sembako dan beberapa barang yang menurut kami berguna bagi kehidupan om beck dan keluarganya, kami lalu menumpang sebuah mobil bak terbuka menuju Labuhan Kananga. Kami akan segera menyambangi Pulau Satonda. Sebuah pulau yang berada kira-kira 3-4 kilometer dari lepas pantai Labuhan Kananga. Ada apa disana? Kita ikuti saja cerita ini.

Sebuah informasi yang tertinggal, kebetulan pada saat kami berangkat menuju Pancasila, kami berkenalan dengan seorang perempuan yang tinggal di Pulau Satonda. Ela, secara kebetulan mengenali Gepeng yang merupakan anggota Londa dan salah satu macan di kampusnya. Ela kebetulan juga baru mendaftar di STKIP BIMA, sekolah tinggi yang menaungi Mapala Londa. Karena mengetahui rencana kami untuk menyambangi Pulau Satonda, ia pun menawarkan rumahnya untuk menginap.

Perjalanan menuju Labuhan Kananga cukup menyenangkan, kami melewati jalur yang sangat tidak terawat dan beberapa kebun Jambu, dimana kami kemudian diijinkan untuk mencicipi langsung jambu itu dari pohonnya.

Kita memasuki keramahan ala Indonesia tahap kedua. Bukan sesuatu yang aneh bila kami dijamu dimana kita menginap, terutama bila kita menginap karena diajak. Dan Seperti biasa kami pun mampir di rumah pak Kades untuk sekedar beramah-tamah dan memberi tahu bahwa kami akan menginap malam itu. Disana kami diberi makan Nasi(lagi), padahal kami pun baru di jamu di rumah sebelumnya. Mungkin di sini kita bisa mendapatkan nasi setiap kali kita mampir ke rumah seseorang. Mungkin tidak jauh berbeda dengan di Pulau Jawa ketika kita pasti disuguhi the dan pisang goring ketika kita bertamu ke rumah-rumah di daerah yang masih tergolong pedesaan.

Setidaknya ini memberikan validasi terhadap pelajaran SD yang dulu kita dapatkan bahwa Indonesia terkenal dengan penduduknya yang ramah. Mungkin Stigma itu sempat terbabat Habis (jangan tersinggung, thanks to Bali n Lombok), dimana kita sempat berpikir bahwa “orang Indonesia ramah karena Ingin menjual sesuatu. Toh tidak semuanya begitu, pembangunan yang tidak merata di Indonesia membuat orang, baik wisatawan Asing maupun Lokal hanya melihat ke daerah wisata (baca : KUTA). Daerah dimana hanya uang dan uang yang ada di otak penduduknya. Tidak sepenuhnya salah mereka ketika mereka bisa mengangkat derjat mereka ke posisi yang lebih baik karena daerah mereka dikenal di seluruh Dunia karena pariwisatanya. Mungkin beberapa tempat di Indonesia belum siap menerima Globalisasi dan belum bisa bersikap professional. Wajah mereka lah yang kemudian menjadi stereotip wajah bangsa kita.

Sayang sekali bukan? Tetapi kita toh tak bisa apa-apa. Saya pribadi hanya bisa terus berjalan, melihat banyak hal dan semakin mencintai negeri saya sendiri.

Hari itu kami sudahi dengan mandi di kali, air Jernih dan tawar yang lagi-lagi hanya berjarak 100 meter dari pantai ini memulihkan tenaga kami kembali. Dan kami pun berkemas untuk perjalanan menuju Satonda keesokan harinya.



i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Tidak ada komentar: