Minggu, 31 Agustus 2008

CAST AWAY , Resiko Ber-bohemian Ria.



Akhirnya waktu juga yang harus memaksa kami pulang.Matahari yang hampir padam terendam air laut di barat sana, dan gelombang yang semakin menggila memaksa kami pulang. Mungkin kami belum puas, tapi zona nyaman ini tak boleh menghambat perjalanan kami. Kami segera pulang, dan yang kami harapkan tak pernah terjadi terjadi juga. (berlanjut ke cerita berikutnya)

…………(jangan tersinggung, pembicaraan ini sedikit meniru rekaman black box adam air, padahal saat itu media belum menyiarkan rekaman yang menurut saya tidak etis untuk disebarkan secara luas itu.)

(Beberapa kalimat sudah di translasi ke bahasa percakapan Indonesia sehari-hari)

ABK 1: kok ngadat ya?

ABK 2: oh, kemudinya lepas, bentar, saya betulin dulu

…….brum…..brumm…… (kapal kembali jalan)
………hening……..(kapal mulai mati)

ABK 2: dek tolong bantu saya, pake sarung ini untuk menutupi mesinnya biar ga kemasukan air

Ojan dan Adin : oke pak!

…….brum…..brumm…… (kapal kembali jalan lagi)
………hening……..(kapal mulai mati lagi)

Cipto : waduh..gak papa nih pak?
ABK 1:
tenang aja dek…
ABK 2:
mesinnya basah nih…!
Ojan :
ga bakal mati kan kita…!?

……kapal terombang-ambing sekitar 100 meter dari pantai………

Gepeng :duh, belum mau mati gua!
Cipto : waduh…waduh….! Kalo kita hanyut sampe australi gimana?
Yudo: cuy, gw belon kawin nih

…..kapal masih terombang ambing…..

Tonte, fikri, awo : (kami memilih bernyanyi ala airborne di film Band of Brothers)

“Droooowninggg, drooowwniinngg…….
What a hell of way to dieeee………
Droooowninggg, drooowwniinngg…….
What a hell of way to dieeee………
We ain’t gonna swim no moooorreeeeee”

(Diulang beberapa kali dengan nada bahagia yang pastinya membuat semua menjadi semakin panik)

Gepeng, Adin, & bayu : eh, jangan becanda donk, serius nih!

……….kapal tetap terombang-ambing…………
………KAPAL MULAI MIRING…………..

Ojan : anjrit….anjrit….. ngepet….. apa dosa gw…..
Zack : jan! tadi lo mohon apa sih di danau? (muka serius)
Iwan : tetet diem dari tadi…(mungkin stress)
ABK 1 :lempar jangkar! Lempar jangkar…..!
ABK 2 : *melempar jangkar*

……mereka berdua berusaha memperbaiki mesin yang rusak itu……
……kapal bergerak tidak jelas juntrungannya……
(….miring? pasti! Jangan bertanya…….)

Tonte, fikri, Awo : *tetap bernyanyi*
Awo : mati ya sudah…………
Tonte : MELLLLLLL….. trus di ralat….. NIAAAAAAA……. (masih belum sadar dalam kondisi darurat)
Fikri : hahahhahahaha…………..

……kapal terbawa arus ke pantai….
(mulai lega)
……kapal menghantam karang-karang……
(kembali panik)

Adin : gak papa nih pak kena karang?
Yudo : ga bocor pak?
ABK 1&2 : tenang aja, kuat kok……

….Kapal merapat ke pantai….
(kami terpaksa turun untuk reparasi kapal)

Cipto : mesinnya ya pak? (macam mengerti mesin kapal)
ABK 2 : bukan dek, bocor…(nah lo! Katanya kuat?)


Ketika kami dipaksa menginap

Ketika itu pukul tujuh malam Kapal yang kami tumpangi bocor dan kemungkinan untuk menginap sangat besar. Semua sempat panik, bukan karena takut mati. Tapi lebih karena kami tidak merencanakan unutk menginap. Dan kudapan yang kami bawa sudah habis. Kami tahu dengan pasti bahwa Rongrongan perut bisa menjadi salah satu penyebab konflik bagi kami.

21.00, Untung sinyal telepon selular masih mencapai pulau itu.kedua pemilik kapal itu menghubungi teman nya dan berkata bahwa kita akan akan dijemput nelayan lain yang menggunakan kapal bagang. Setelah beberapa jam menunggu nelayan yang dimintai bantuan member kabar buruk karena pantai dimana bangang itu “parkir” surut dan kapal tidak bisa menjemput kami.



handphone tetap menjadi barang primer disini

Bukan kabar baik bagi kami pastinya. Tapi ternyata ada nelayan lain yang mencoba menjemput kami dengan kapal yang memiliki ukiran yang sama dengan kapal yang kai tumpangi. Kesenangan itu ternyata tidak datang juga. Kapal yang kami harapkan menjemput kami bocor dan terpaksa pulang juga. Dan kapal itu hanya berjarak 100meter dari tepi pantai. Rasa lapar yang tertahankan lagi membuat kami harus mengumpulkan kerang-kerang di sekitar pantai untuk kami bakar di api unggun. Untung saja kapal yang terakhir karam itu membawa nasi seadanya untuk kami. Sebuah pengalaman yang mengesankan bukan?

Ternyata pengalaman itu tidak berkahir di situ, sekitar pukul 21.30, kami dibuat berdecak kagum sekali lagi oleh alam. Ratusan, ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu kelelawar keluar dari pulau itu. Berterbangan di langit seperti burung gagak yang terbang berkeliaran di sekitar korban-korban kelaparan di Ethiopia dulu dan menunggu kami mati. tapi kami tahu bahwa kelelawar hanya makan buah-buahan. Setidaknya karena itu mereka disebut fruit bats.

“mereka terbang berkeliaran melintasi bulan yang saat itu hampir purnama…
Mereka membantu saya membuat sebuah lukisan dari cahaya……
Dan ketika itu lah saya teringat pada gambar gambar di komik…
Gambar-gambar ketika Inspektur Gordon, membutuhkan bantuan sang ksatria Gotham”




batman

Kekaguman itu pun harus berhenti juga. Rasa kantuk memaksa kami untuk mengistirahatkan mata kami yang mulai lelah. Selain itu tidur merupakan obat yang bagus. Obat untuk membunuh waktu, dan mendiamkan perut yang merongrong.


wajah kusut


Pagi datang, muka kami semua berantakan. Rasanya seperti tom hanks, sayang kami tak punya bola voli untuk diajak berbicara. Untung tim ini terdiri dari tiga belas orang yang masih bisa berbicara satu sama lainnya. Ketika itu lah kapal BASARNA (Badan SAR Kananga..:P) datang. Dua buah kapal datang. Satu kapal kecil dan satu kapal bagang menjemput kami. Rupanya ayah Ela khawatir pada kami yang tak pulang semalam dan meminta kawannya yang memiliki kapal untuk menjemput kami.





tim penolong

Mungkin sebenarnya pengalaman kami semalam tidak se-ekstrim itu.
Mungkin kami masih berada di zona aman karena sinyal telepon masih mencapai pulau itu.
Mungkin kami sedikit melebih-lebihkan semuanya.
Mungkin bila kami menyiapkan perbekalan yang lebih baik kami tidak akan panik.
Tapi mungkin tak satu pun dari kami menyesali apa yang terjadi malam itu.
Karena setiap kejadian di dunia ini memiliki pelajaran.

Karena seseorang pernah berkata pada saya “dari setiap tindakan dan pilihan selalu ada dampaknya. Baik atau buruk itu tergantung dari cara kita berpikir atas kejadian tersebut.

Dan saya sendiri tidak pernah menganggap kejadian malam itu sebagai musibah.

Justru anugerah

(bukan lirik changcutters)




Kamis, 28 Agustus 2008

Semalam di Pulau Pribadi, Sataonda.




Panorama Pulau Satonda (ga tau kenapa jadi gitu fotonya...), Panorama danau air asin satonda, Gerbang masuk taman wisata laut Satonda

Pagi- pagi benar kami mulai berangkat ke Pulau Satonda. Kami pun tidak tahu ada apa di sana. Literatur yang kami peroleh disana sangat minim dan kami hanya mengetahui bahwa hanya ada danau air asin di tengah pulau itu, dan banyak Kelelawar tinggal di pulau itu. Kami menyewa sebuah kapal nelayan kecil seharga 200ribu untuk perjalanan setengah hari ke sana. Saya tidak mau mengatakan kapal itu nyaman atau tidak. Yang jelas kami berangkat dengan ceria dan tak peduli bahwa sebenarnya kapal yang kami tumpangi itu kelebihan beban. Tolong kalian bandingkan sendiri antara ukuran kapal dan jumlah penumpangnya. Kami bertiga belas, sebelas mahasiswa gila dan 2 pemilik kapal. Yang jelas, seklai lagi saya tekankan. KAMI BAHAGIA!



Berangkat dengan ceria, transportasi minimalis..

Dalam waktu kurang dari satu jam kami sudah tiba di Pulau Satonda. Kami disambut oleh jajaran karang di kedalaman 5 meter yang terlihat jelas dari atas kapal kami. Kalian pasti mengerti apa maksud saya kan? Kami datang bersamaan dengan kapal pesiar yang mengangkut turis-turis mancanegara yang mengikuti program tur dari Bali atau Lombok yang hampir pasti singgah di Pulau Satonda.

Sesampainya disana kami langsung menikmati semua yang bisa kami nikmati. Danau air asin lah yang pertama kami nikmat. Di bibir danau kami disambut batu-batu yang bergelantungan di pohon. Mereka bilang itu pohon berbuah batu. Sebetulnya itu hanya kepercayaan bahwa bila kita menggantungkan batu di pohon itu , permohonan kita akan dikabulkan .Dan bila benar terkabul kita harus kembali ke pulau itu unutk melepas batu yang kita gantungkan. Di satu sisi, mungkin benar itu adalah salah satu kepercayaan yang ada di sana , tapi mungkin juga itu hanya sebuah akal-akalan pengelola untuk menambah daya tarik pulau ini yang menurut saya kurang terkelola dengan baik. Toh saya juga menggantungkan permohonan di pulau itu.

Pulau ini dulu pernah diteliti oleh beberapa peneliti dari Hambur university dan memberikan dua kesimpulan mengepa ada danau air asin disana. analisis pertama, karena ledakan pulau satonda yang begitu besar, menyebabkan air yang tadinya berada di luar kawah (ya, awalnya danau itu adalah kawah) masuk kedalam dan membentuk sebuah danau "mati". analisis ke dua, pulau itu awalnya tidak memiliki kawah, tapi karena ledakan Tambora dan pergeseran lempeng bumi, maka tebentuklah sebuah danau dan menjebak air laut ke dalam nya.

salah satunya adalah analisis dari badan Vulkanologi Jakarta dan yang satunya adalah analsis para peneliti dari Hamburg, Dr. Stephan Kempe (Universitas Hamburg) tahun 1984 dan Prof. Dr. Jozef Kazmierczak (Universitas Warsawa). dari hasil penelitian dikatankan bahwa pulau Satonda merupakan sebuah pulau vulkanik yang dengan letusannya membentuk sebuah kaldera.

Kaldera ini pada awalnya berisi air tawar, yang kemudian karena letusan dahsyat gunung Tambora, air laut yang terdorong mengisi dan bercampur dengan air tawar yang ada di dalam kaldera satonda tersebut. jadi pada prinsipnya danau air asin ini terbentuk bukan karena adanya terowongan air asin di dasarnya.

menggantungkan harapan

Puas di danau sebagian besar dari kami mulai berenang di pantai. saya memilih untuk menyusuri jalan setapak ke menuju puncak tertinggi di pulau yang mungkin hanya memiliki ketinggian tak sampai 150 mdpl itu. Saya kecewa. Ternyata jalan setapak itu tidak bisa mencapai puncak. Dan ternyata banyak juga wisatawan asing yang merasa tertipu karena tidak bisa naik ke puncak. Kenapa pulau ini tidak dibangun karena adanya konflik antara kabupaten Bima dan Dompu mengenai kepemilikan pulau tersebut.

hingga hari ini kabupaten Bima dan Dompu saling memperebutkan siapa ang berhak mengelola pulau itu. munkgin karena potensi nya. alhasil? terbengkalailah pulau itu. dikecewakanlah para turis. dan pada akhirnya, saat kepemilikannya sudah kelas?
para turis sudah enggan bermain kesana lagi, bukan?


jalan setapak yang tidak mencapai puncak dan sedikit "kentang" membuat banyak wisatawan asing mengeluhkan pengelolaan pulau ini.

Sore itu kami merasa pantai Satonda jadi milik kami sendiri. Tak ada orang lain di pantai itu, kecuali beberapa wisatawan asing yang tetap di pesiar mereka atau menggunakan boat pribadi menuju beberapa dive spot yang ada di pulau itu. Kami belum tahu apa yang akan menimpa kami berikutnya.



Air Jernih dan anak Gurita

Disana kami berbicara dengan pengelola yang sedang menuggu pelunasan biaya administrasi para wisatawan asing tersebut. Biaya kami? 10 ribu saja unutk 13 orang.sekali lagi fungsi dari senyum manis dan mata berkaca-kaca kami berhasil. Dari pembicaraan sore itu kami mengetahui bahwa sepanjang tahun 2008 kami adalah grup wisatawan lokal ke dua yang datang ke pulau itu. Dan satu-satunya wisatawan yang datang tanpa jasa tur.

Bukankah pulau ini bagian dari Indonesia? Mengapa tak ada yang pernah datang kesini? Potensi yang disimpan pulau ini sangat besar. Dan mungkin, sekali lagi, turis lokal lebih memilih menghamburkan uangnya di Kuta, ZARA dan pulau Singapura (ya, PULAU!). Mungkin biaya tur begitu mahal sehingga tak banyak penduduk Negara dunia ketiga ini yang sanggup membayarnya. Mungkin tak banyak petualang-petualang yang mau repot untuk menyewa kapal kecil murah yang kemudian hampir membahayakan nyawa kami. Mungkin juga bagian pemasaran yang harus di salahkan disini.







hopla!





i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Ramahnya penduduk Indonesia!









Selesai juga akhirnya pendakian Tambora. Malam itu kami beristirahat untuk memulihkan tenaga yang akan kami butuhkan pada perjalanan berikutnya. Dalam perjalanan turun kami bertemu dengan Om Beck, pemilik rumah singgah kami dan merupakan salah satu dari guide pertama gunung Tambora di desa Pancasila. Saat itu ia sedang mengantar seorang pendaki dari Jakarta, Benny, yang sedang menikmati liburannya di sela pekerjaannya sebagai bartender di kapal Pesiar (saya lupa nama kapal nya)

Malam itu kami disuguhi makanan ala kadarnya oleh istri om Beck, Nasi dan Ikan asin. Itupun satu ekor ikan asin untuk satu orang. Tersiksa? Tidak juga. Kami merasakan hospitality yang luar biasa di sini (sekedar catatan, ini hanya lah awal dari keramahan luar biasa yang saya dan tim dapatkan selama perjalanan), betapa ramahnya orang Indonesia.

Esoknya (kalau tidak salah tanggal 7 Juli), kami tidak membuang-buang waktu. Setelah berkemas dan memberikan sejumlah sembako dan beberapa barang yang menurut kami berguna bagi kehidupan om beck dan keluarganya, kami lalu menumpang sebuah mobil bak terbuka menuju Labuhan Kananga. Kami akan segera menyambangi Pulau Satonda. Sebuah pulau yang berada kira-kira 3-4 kilometer dari lepas pantai Labuhan Kananga. Ada apa disana? Kita ikuti saja cerita ini.

Sebuah informasi yang tertinggal, kebetulan pada saat kami berangkat menuju Pancasila, kami berkenalan dengan seorang perempuan yang tinggal di Pulau Satonda. Ela, secara kebetulan mengenali Gepeng yang merupakan anggota Londa dan salah satu macan di kampusnya. Ela kebetulan juga baru mendaftar di STKIP BIMA, sekolah tinggi yang menaungi Mapala Londa. Karena mengetahui rencana kami untuk menyambangi Pulau Satonda, ia pun menawarkan rumahnya untuk menginap.

Perjalanan menuju Labuhan Kananga cukup menyenangkan, kami melewati jalur yang sangat tidak terawat dan beberapa kebun Jambu, dimana kami kemudian diijinkan untuk mencicipi langsung jambu itu dari pohonnya.

Kita memasuki keramahan ala Indonesia tahap kedua. Bukan sesuatu yang aneh bila kami dijamu dimana kita menginap, terutama bila kita menginap karena diajak. Dan Seperti biasa kami pun mampir di rumah pak Kades untuk sekedar beramah-tamah dan memberi tahu bahwa kami akan menginap malam itu. Disana kami diberi makan Nasi(lagi), padahal kami pun baru di jamu di rumah sebelumnya. Mungkin di sini kita bisa mendapatkan nasi setiap kali kita mampir ke rumah seseorang. Mungkin tidak jauh berbeda dengan di Pulau Jawa ketika kita pasti disuguhi the dan pisang goring ketika kita bertamu ke rumah-rumah di daerah yang masih tergolong pedesaan.

Setidaknya ini memberikan validasi terhadap pelajaran SD yang dulu kita dapatkan bahwa Indonesia terkenal dengan penduduknya yang ramah. Mungkin Stigma itu sempat terbabat Habis (jangan tersinggung, thanks to Bali n Lombok), dimana kita sempat berpikir bahwa “orang Indonesia ramah karena Ingin menjual sesuatu. Toh tidak semuanya begitu, pembangunan yang tidak merata di Indonesia membuat orang, baik wisatawan Asing maupun Lokal hanya melihat ke daerah wisata (baca : KUTA). Daerah dimana hanya uang dan uang yang ada di otak penduduknya. Tidak sepenuhnya salah mereka ketika mereka bisa mengangkat derjat mereka ke posisi yang lebih baik karena daerah mereka dikenal di seluruh Dunia karena pariwisatanya. Mungkin beberapa tempat di Indonesia belum siap menerima Globalisasi dan belum bisa bersikap professional. Wajah mereka lah yang kemudian menjadi stereotip wajah bangsa kita.

Sayang sekali bukan? Tetapi kita toh tak bisa apa-apa. Saya pribadi hanya bisa terus berjalan, melihat banyak hal dan semakin mencintai negeri saya sendiri.

Hari itu kami sudahi dengan mandi di kali, air Jernih dan tawar yang lagi-lagi hanya berjarak 100 meter dari pantai ini memulihkan tenaga kami kembali. Dan kami pun berkemas untuk perjalanan menuju Satonda keesokan harinya.



i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine- "entepreneur's Credo"

Minggu, 24 Agustus 2008

Gunung orang-orang yang hilang...



"Mendaki gunung saja kau!, kuliah ngga kerja ngga...!!" yaahh, mungkin bukan cuma sekali saya dan kawan-kawan sejawat saya mendengar kata-kata seperti ini. Begitu pula ketika kami merekncanakan untuk menrambah dambil menjamah Pulau Sumbawa. "ngapain sih lo pergi jauh-jauh?, mending bikin Skripsi" mungkin tidak sepenuhnya salah, toh tapi kami tetap berangkat. Dan berulang kali saya mencoba menjelaskan pada mereka unutk tidak hanya melihat sebatas "Naik Gunung" -nya saja. Ada alasan yang lebih besar daripada ini. "gw ga mau kawin sebelum keliling Indonesia", kata Tonte. yah, itu hanya salah satu alasan. bagi saya, kenapa saya senang berpergian hanya karena saya ingin melihat Indonesia. saya Ingin lebih mencintai. (seperti kata Gie yang saya tuliskan di dalam posting pertama "mengenali tidak mungkin tanpa mengenali")

Bagi saya, Gunung itu sendiri hanya tambahan, keseluruhan perjalanan itu lah yang saya perhatikan, bukan sekedar gunung nya, kalaupun boleh saya diijinkan hanya tinggal di desa, bagi saya pun tidak masalah. Dan kali ini, Gunung Tambora laha yang menjadi bagian dari perjalanan kami. "Tambora", gunung yang begitu terkenal di dunia ini mungkin buan salah satu yang tertinggi, tapi justru cerita di balik rendahnya gunung inilah yang membuat temapt ini begitu menarik. Katanya Gunung ini dulu setinggi 4000mdpl, namun letusan pada tahun 1815 emmeapas gunung ini hingga hanya mencapai ketinggian 2700-an mdpl. Tambora sendiri berasal dari kata Ta
yang artinya "orang", dan Mbora yang artinya "Hilang". Dengan kata lain, gunung ini diberi nama unutk mengingat orang-orang, atau bisa kita katakan sebagai kerajaan yang hilang.

Letusan gunung ini yang diyakini yang terbesar di Dunia mengalahkan Krakatau yang sebelumnya diyakini sebagai letusan terdahsyat di dunia. Mmembinasakan banyak nyawa, menghabisi banyak flora dan fauna, dan menciptakan perubahan iklim yang dahsyat di bumi ini. dan itu semua terjadi di Indonesia sekitar tahun 1815. betapa besarnya kontribusi Indonesia pada perubahan iklim di dunia ini bukan?. selain itu, badan Vulkanologi indonesia yang berpusat di Jakarta meyakini danau air asin Pulau Sataonda pun ( tungggu tulisan tentang sataonda, setelah ini pastinya) disebabkan oleh letusan Tambora.

Gunung ini pun tidak setenar gunung-gunung lain di Indonesia yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi (sebut saja Gunung Raung(3,332mdpl) di Jawa Timur, Gunung Leuser (3,040mdpl) di Nanggroe Aceh Darussalam, atau Cartensz Pyramid (4,884 mdpl) di Papua. tapi toh Gunung ini memiliki cerita nya tersendiri yang tidak kalah menakjubkannya.

hari itu kami berangkat pukul tujuh pagi. dengan gaya turis yang agak malas-malasan untuk naik gunung. Sebelumnya saya perlu mengakui bahaw terakhir kali saya jogging, adalah 2 tahun yang lalu.. terakhir kali saya mendaki gunung? satu tahun yang lalu.... untung saja, sebagai sebuah gunung tingkat kebutuhan fisik tidak terlalu tinggi disini, menurut saya,karena jalur yang terdapat di gunung ini cukup landai. sekali lagi, dan tidak akan pernah lelah saya ucapkan. betapa beruntungnya saya menjadi orang yang ditinggal di Ibukota.

pada pendakian kali ini kami ditemani oleh lima orang anggota Mapala "Londa", salah satu Pencinta alam tertua di Bima. Toh ini lah kenyataan yang harus yang lihat, terima, dan bagi ke anda semua. Disini,di Ibukota, sering kali kita berkejar-kejaran untu mendapatkan sesuatu hanya untuk mengejar gengsi, bukan fungsi. Beberapa berebut untuk memiliki I-phone, dan baju dengan tulisan MNG di dadanya. yang lain berburu Jaket Jack Wolfskin yang cocok digunakan di Siberia, hanya untuk naik motor. kadang-kadang kita lupa bahwa di belahan lain negara ini mereka berjuang tanpa kompor, dan tanpa senter dengan lampu LED unutk mendaki gunung.Alat-alat yang sering kali menjadi harga mati bagi kita sebelum mendaki. Toh keadaan juga yang memaksa mereka unutk bertahan seperti teori "Survival of the fittest" jika mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan segala keterbatasan yang ada mungkin mereka akan berhenti dan mencari hobi yang lain.



Toh hobi itu pun tetap mereka lakoni.betapa unik melihat bagaimana mereka mendaki gunung. Kami yang dididik dengan gaya manajemen Mapala UI tentu saja memiliki cara berpikir yang mengatakan bahwa "naik gunung sudah susah, jadi harus dibikin senyaman munngkin" kalau perlu durian pun kami bawa ke puncak gunung. Tapi ternyata mungkin taktik itu kurang cocok di praktek-kan di Tambora. Kami harus jungkir balik membawa air dan logistik, yang kemudian kami ketahui bahwa semua pos peristirahatan yang di buat di Tambora melalui jalur Desa Pancasila ini berdekatan dengan jalur air. sepertinya memang jika kita sedang berada di roma kita harus bertingkah laku seperti orang romawi.

untuk sekedar informasi perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 2/3 hari itu kami jalani selama 4 hari. yah, antara lemah fisik dan mental turis yang kami usung dari Jakarta. Hari pertama perjalanan kami diwarnai dengan rimbunnya hutan yang masih cukup "perawan". cukup terlihat mungkin jumlah pendaki gunung tambora selama satu tahun lebih sedikit dari jumlah rem pakem(remaja pencinta kemping) yang mendaki gunung Gede dan Pangranggo setiap akhir pekan selama satu bulan. perjalanan hari itu berhenti pada pukul tiga sore ketika kami mencapai pos peristirahatan kedua. "biasanya kami beristirahat langsung di pos tiga.",kata gepeng, salah satu anggota Mapala Londa. tapi kami malas. "ya sudahlah,ini kan holiday....., masa jalan nya kaya lagi ekspedisi aja", itulah kalimat pembenaran yang kami ucapkan setiap kali anggota Londa gerah dengan kemalasan kami.



z

Hutan Lebat- hutan yang masih "perawan" menghiasi jalur perjalanan
menuju puncak gunung Tambora.

Begitu pula perjalanan selanjutnya menuju pos tiga dimana kita harus beristirahat sebelum "serangan fajar" menuju puncak keesokan harinya. Lagi-lagi saya dikejutkan dengan kelakuan anak-anak Londa yang membuat perangkapa ayam untuk. ini hanya satu dari sekian banyak kejutan yang sudah mereka buat. Dari minimnya peralatan keamanan mendaki, kompor yang posisinya digantikan dengan kayu bakar, senter berwarna perak yang pasti sering seklai kita lihat pada era akhir 80-an hingga awal 90-an.

mereka membuat nasi, kami memasak lauk. karena itulah keahlian kami, memasak dan mengorganisir. setidaknya saya masih bisa membanggakan Spaghetti buatan saya yang dipuji semua penyantapnya..



Perangkap Ayam , Makan Siang, Suasana POs 3

pagi-pagi benar, kami bersiap menuju ke Kawah dan Puncak Tambora. perjalanan kami mulai pukul 12 malam, dan berharap kami dapat mengejar matahari terbit pada pukul setengah enam nanti. kira-kira perjalanan bisa kita bagi dalam dua bagian, yaitu daerah budidaya Jelatang, dan daerah setelah batas vegetasi.

yang pertama kami lalui adalah daerah budidaya jelatang. mungkin sebenarnya kurang tepat jika saya sebut sebagai daerah budidaya. hanya karena jumlahnya yang menurut saya tidak wajar itu lah kami kemudian bercanda dan menyebut zona itu sebagai zona budidaya jelatang. apa itu jelatang? mungkin tidak semua orang tahu apa itu jelatang. bagi mereka yang sering melakukan pendakian pasti tidak lagi asing dengan tumbuhan ini. (saya lupa nama latinnya) tapi tumbuhan ini memiliki baik duri-duri halus dan duri-duri kasar yang bila sedikit saja menyenggol kulit kita rasanya lebih baik pindah agama saja.


Daerah budidaya Jelatang, foto ini diambil pada pagi hari sepulan dari puncak.

Dan sesuatu yang sudah saya duga terjadi. hobi memakai celana pendek ketika mendaki gunung menjadi buah simalakama bagi saya. habis sudah sekujur paha, betis di gerayangi Jelatang. kenapa saya tidak menghindar? pertanyaan bagus! bagaimana kiranya saya bisa menghindar, jika mereka tidak hanya ada di kiri dan kanan jalur. Tetapi juga ada di atas kepala, bahkan Dimana kita menjejak? belum lagi mereka yang mulai tumbuh tepat di depan mata kami. jangan Lupa kami mendaki saat hanya sinar senter menyinari perjalanan kami.

sekitar 20 menit dari batas vegetasi kami di paksa behenti oleh alam. Angin kencang menghambat perjalanan kami dan membiarkan kami duduk termangu tanpa bisa melihat matahari tebit di balik kawah. toh akhirnya kami berhasil ,emcapai bibir kawah sekitar pukul 6 pagi. akhirnya berhasil juga saya melihat kawah yang diyakini sebagai salah satu yang terbesar di Dunia. setelah ini bebrapa dari kamu melanjutkan perjalanan ke Puncak yang kira-kira berjarak hanya satu jam perjalanan pulang pergi. semua berangkat kecuali saya sendirir, tonte, dan iwan.


Menghangatkan diri sebelum serangan fajar, Cemara teakhir BAtas Vegetasi


Sepulang dari sana, banyak yang bertanya kenapa saya tidak pergi ke Puncak. saya hanya jawab "malas". Sebetulnya itu hanya jawaban mudah nya. kira-kira begini jawaban mudah nya. seperti yang telah saya ungkapkan di beberapa post sebelumnya sebuah perjalanan itu harus dikategorikan sebagai journey dan bukan hanya dilhat dari sisi destination. Pemandangan? bagi saya mungkin tak perlu ke Puncak,toh pemangandan di bibir kawah pun sama Indahnya dan sama objeknya. Prestise puncak gunung? Sudah lama saya buang itu jauh-jauh. saya pemalas? mungkin ini jawabannya.

Setidaknya saya merasa apa yang ingin saya dapatkan . Interaksi antar kami itulah yang saya cari. Ada satu hal yang Lucu. Saya ada lah orang yang cukup tergila-gila dengan Alkohol dan Mendaki gunung dan bukan kmbinasi antara kedua nya. mengapa? karena saat seeorang melakukan salah satu dari kegiatan itu mereka hampir bisa dipastikan berubah menjadi orang paling jujur yang pernah ada.


Bibir Kawah

Pulang dari puncak, Kawah Tambora

interaksi antara pencinta alam ibukota yang dibuai oleh peralatan-peralatan canggih dan pencinta alam daerah yang tetap "ganas" tanpa baju berbahan gore-tex. bagaimana kami kagum dengan nasi Pulen yang dibuat di atas kayu bakar (ya, kami pun bisa membuat nasi pulen. tapi dengan bantuan Trangia dan Coleman pastinya). bagaimana mereka kagum dengan barang bawaan kami yang mengada-ada. Bagaimana kami terkagum-kagum dengan cara mereka mendaki tanpa menggunakan Peta,karena tak ada lantor cabang Bakosurtanal di Sumbawa. dan bagaimana mereka terkagum-kagum dengan menu ala Hotel bintang Lima yang kami sajikan setiap makan.
dan Bagaimana kami semua menikmati perjalanan ini.


nasi pun tetap pulen


VIVA LA VIE BOHEME!

i do not choose to be a common man, it is my right to be uncommon.. -Thomas Paine-
"entepreneur's Credo"

Sabtu, 23 Agustus 2008

Bhineka tunggal Ika!






Selamat datang di kaki gunung tambora..
selamt datang di desa Pancasila...
Bhineka Tunggal Ika sekali bukan nama desa ini?



konon katanya.... nama desa ini diambil dari suku-suku penduduk yang tinggal disana...
kebetulan ada 5 suku yang paling dominan tinggal di desa tersebut..
" Bima, Jawa, Bugis, orang-orang timur indonesia, dan sasak", selain itu karena ingin memupuk rasa nasionalisme juga, hari itu kami datang sekitar pukul 3 sore. Para penduduk masih ramai, terutama para pejabat desa yang sedang mempersiapkan Pilkada keesokan harinya. ingin sekali rasanya mengambil momen-monen pemilihan Kepala Desa di kaki pegunungan, sayang waktu tidak mengijinkan, karena kami dikejar jadwal dan kami harus berangkan besok Subuh.

untuk sekedar informasi, saat ini saya sudah mulai lupa akan kalender kabisat, yang saya ingat hanya kami mendaki gunung Tambora ketika bulan sabit meruncing di langit.

kekecewaan itu pun sedikit terobati. malam itu kami melihat pemandangan yang menakjubkan. Mungkin kalian tahu bahwa Pulau Sumbawa terkenal dengan madu hutannya. Malam itu kami melihat sendiri pengambilan MAdu hutan oleh beberapa petani madu tradisional.

Seperti semua pekerja tradisional. mereka bekerja tidak dengan standar operasi yang bisa disebut aman jika dibandingkan dengan standar Internasional. tapi toh, pekerjaan itu tetap mereka lakukan, walau nyawa taruhannya. Sebagian memang melakukannya karena merupakan tradisi, walau berbahaya. Tapi, toh sebagian besar melakukan pekerjaan tradisional itu karena minim nya modal, pendidikan, dan sentuhan teknologi.

Matahari sudah mulai merapat ke cakrawala, bahkan pemanjat sekelas Patrick Morrow ataupun Reinhold Messner pun akan menghentikan pemanjatan ketika matahari mencegah mereka untuk melihat tebing yang akan mereka panjat. Itu pun dengan segala macam perlengkapan canggih yang di produksi oleh merek-merek terkenal, yang terjamin keamanannya. Toh para pekerja tradisional ini tetap memanjat pohon yang menurut perkiraan saya mencapai 20-25 meter itu, TANPA TALI!.

ehehe, sebetulnya, saya akui saya berbohong, mereka membawa tali. tapi bukan unutk alasan keselamatan. mereka hanya membawa seutas tali rafia plastik yang biasa kita gunakan untuk menjemur pakaian. Tali itu hanya berguna untuk menurunkan sarang lebah yang tergantung jauh dia atas pohon.

Tali Rafia, Ember, dan obor untuk mengusir lebah-lebah itu dengan asapnya.yang kemudian yaah kami beli dengan harga 25 ribu rupiah unutk satu botol air mineral 600ml. cukup murah unutk sesuatu yang diambil dengan meletakan nyawa mereka di ujung tanduk.

untuk saat itu kami terkagum-kagum. dengan kemampuan mereka, dan tentu saja karena harga yang relatif murah untuk sesuatu yang begitu berharga. madu itu diperas di depan mata kami sendiri. setidaknya kami tahu, madu itu tidak dicampur seperti madu-madu palsu di luar sana.

lagi-lagi pengalaman indah saya alami, betapa beruntungnya saya menjadi orang Indonesia.